الهي لست للفردوس اهلا * ولا اقوى على نار الجحيم
“Wahai Tuhanku, sungguh sangat
tak layak untukku ada di surgaMu, mengingat keadaanku yang penuh dan
berlumur dosa, sedangkan surgaMu hanya dimasuki oleh orang-orang yang
sepi akan dosa, yaitu orang-orang yang suci. Namun sungguhpun demikian,
tidaklah pula aku sanggup jika ku harus memasuki nerakaMu, Tuhan. Aku
tak kan pernah sanggup sungguhpun aku berada dalam kubangan sumur dosa.
Berikan aku taubat, Tuhanku. Dan ampunilah segala dosa-dosaku yang
teramat sangat banyak”
Senandung syair yang menyentuh
hati itu mengalun begitu merdu. Sembari menunggu datangnya shalat
Maghrib dan Subuh, para jamaah shalat kerap melantunkan syair itu dengan
syahdu di mushala dan masjid. Meski syair itu telah berumur hampir 11
abad, namun tampaknya tetap akan abadi.
Syair pengingat dosa dan kematian
itu boleh dibilang begitu melegenda, seperti nama besar pengarangnya
Abu Nuwas yang hingga kini tetap dikenang dan diperbincangkan. Abu Nuwas
atau Abu Nawas adalah seorang penyair Islam termasyhur di era kejayaan
Islam.
Orang Indonesia begitu akrab dengan sosok Abu Nuwas lewat cerita-cerita humor bijak dan sufi. Sejatinya, penyair yang bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin Hini Al-Hakami itu memang seorang humoris yang lihai dan cerdik dalam mengemas kritik berbungkus humor.
Penyair yang dikenal cerdik dan
nyentrik itu tak diketahui secara pasti tempat dan waktu kelahirannya.
Diperkirakan, Abu Nuwas terlahir antara tahun 747 hingga 762 M. Ada yang
menyebut tanah kelahirannya di Damaskus, ada pula yang meyakini Abu
Nuwas berasal dari Bursa. Versi lainnya menyebutkan dia lahir di Ahwaz.
Yang jelas, Ayahnya bernama Hani
seorang anggota tentara Marwan bin Muhammad atau Marwan II- Khalifah
terakhir bani Umayyah di Damaskus. Sedangkan ibunya bernama Golban atau
Jelleban seorang penenun yang berasal dari Persia. Sejak lahir hingga
tutup usia, Abu Nuwas tak pernah bertemu dengan sang ayah.
Ketika masih kecil, sang ibu
menjualnya kepada seorang penjaga toko dari Yaman bernama, Sa’ad
Al-Yashira. Abu Nuwas muda bekerja di toko grosir milik tuannya di
Basra, Irak. Sejak remaja, otak Abu Nuwas yang encer menarik perhatian
Walibah ibnu A-Hubab, seorang penulis puisi berambut pirang. Al-Hubab
pun memutuskan untuk membeli dan membebaskan Abu Nuwas dari tuannya.
Sejak itu, Abu Nuwas pun terbebas
dari statusnya sebagai budak belian. Al-Hubab pun mengajarinya teologi
dan tata bahasa. Abu Nuwas juga diajari menulis puisi. Sejak itulah, Abu
Nuwas begitu tertarik dengan dunia sastra. Ia kemudian banyak menimba
ilmu dari seorang penyair Arab bernama Khalaf Al-Ahmar di Kufah.
Sang guru memerintahkannya untuk
berdiam di padang pasir bersama orang-orang badui untuk mendalami dan
memperhalus pengetahuan bahasa Arabnya selama satu tahun. Setelah itu,
dia hijrah ke Baghdad yang merupakan metropolis intelektual abad
pertengahan di era kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Sebagai penyair yang nyentrik,
masa mudanya penuh dengan gaya hidup yang kontroversial, sehingga
membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra
Arab Islam. Ketika masih muda, puisi-puisi yang dikarangnya kerap
diinspirasi khammar (minuman keras), salah satunya khumrayat
(penggambaran minuman keras). Adalah Dr Muhammad al-Nuwaihi dalam
kitabnya Nafsiyyat Abi Nuwas menyebutkan Abu Nawas sangat tergantung
pada minuman keras.
Sebagai penyair, tingkah laku Abu
Nawas bisa disebut aneh, bahkan slebor. Tingkah lakunya membuat orang
selalu mengaitkan karyanya dengan gejolak jiwanya. Ditambah sikapnya
yang jenaka, perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Namun, di mata
Ismail bin Nubakht Abu Nuwas adalah seorang yang cerdas dan kaya
pengetahuan.
”Saya tak pernah melihat orang
yang mau belajar lebih luas dibanding Abu Nuwas. Tak ada seorang pun.
Dengan ingatan yang sangat kaya, namun koleksi bukunya sangat sedikit.
Setelah dia tutup usia, kami mencari rumahnya dan hanya menemukan sebuah
buku di rumahnya,” papar Ismail bin Nubakht dalam catatannya.
Berbekal kepiawaiannya menulis
puisi, Abu Nawas bisa berkenalan dengan para pangeran. Sejak dekat para
bangsawan, puisi-puisinya berubah memuja penguasa. Dalam kitab Al-Wasith
fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair
multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh
terkemuka sastrawan angkatan baru.
Karir Abu Nuwas di dunia sastra pun makin kinclong setelah
kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid.
Melalui perantara musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas akhirnya
didapuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Abu Nawas pun diangkat
sebagai pendekar para penyair. Tugasnya menggubah puisi puji-pujian
untuk khalifah.Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi membuatnya menjadi seorang legenda. Namanya juga tercantum dalam dongeng 1001 malam. Meski sering ngocol, ia adalah sosok yang jujur. Tak heran, bila dia disejajarkan dengan tokoh-tokoh penting dalam khazanah keilmuan Islam.
Kedekatannya dengan khalifah berakhir di penjara. Suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang membuat khalifah tersinggung dan murka. Ia lantas di penjara. Setelah bebas, dia mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia hengkang dari Baghdad setelah kejayaan Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu, ia hijrah ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Abu Nuwas akhirnya kembali lagi ke Baghdad, setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Kepongahan dan aroma kendi tuaknya meluntur, seiring dengan kepasrahannya kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang pertobatan bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.
Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Puisi serta syair yang diciptakannya menggambarkan perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah. Kehidupan rohaniahnya terbilang berliku dan mengharukan. Setelah ‘menemukan’ Allah, inspirasi puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Di akhir hayatnya, ia menjalani hidup zuhud. Seperti tahun kelahirannya yang tak jelas, tahun kematiannya terdapat beragam versi antara 806 M hingga 814 M. Ia dimakamkan di Syunizi, jantung Kota Baghdad.
(Red______________kebunhikmah)
www.darunnajah-cipining.com
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungan teman-teman. silahkan postkan komentar teman semuanya. :-)