A. PENDAHULUAN
Berangkat dari sebuah hadits Rasulullah
s.a.w. “Sebaik-baik masa adalah masaku, masa setelahku dan masa setelahku”.
Ibnu Hazm (384-456H) berkata : “Semua
shahabat ialah ‘adil, utama diridhai, maka wajib atas kita memulyakan mereka,
menghormati mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan mencintai mereka”.[1]
Dari dua sumber informasi tersebut,
jelaslah ingin menyampaikan kepada kita agar kita mempelajari sejarah kehidupan
masa-masa ini. Antara masa Rasulullah s.a.w. dan para sahabat, satu abad masa
setelah mereka dan satu abad setelah masa tabi’in.
Perkembangan Islam pada zaman Nabi Muhammad
s.a.w. dan para sahabat merupakan agama Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa
terlihat bagaimana kemurnian Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor
utamanya yaitu Rasulullah s.a.w. Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman
para sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah empat atau yang lebih terkenal
dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat dimana
hampir 2/3 bumi yang kita huni ini dipegang dan dikendalikan oleh Islam. Hal
itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam
mempertahankan dan juga dalam menyebarkan Islam sebagai agama tauhid yang
diridhoi.
Masalah subtansi yang harus dicermati
adalah bagaimana mengambil pembelajaran dari perjalanan panjang hidup, yang
telah mereka pertaruhkan dalam membangun sebuah peradaban. Kemudian peradaban
inilah kelak yang akan mewarnai kehidupan dunia, membuka cakrawala berfikir
umat manusia.
Pada makalah sederhana ini, akan
mengambil salah satu satu kilas balik sahabat Nabi dan juga menantunya,
beliaulah Ali bin Abi Thalib.
Dari seluruh sahabat Rasulullah, Ali
bin Abi Thalib adalah salah satu yang pertama kali memeluk Islam dan berjuang
menegakkannya bersama Rasulullah saw. Ia memiliki kedudukan yang sangat
istimewa. Kedudukan ini sangat istimewa diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau,
tingkat kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak dapat
disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi berikutnya
tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang mencibir dan mencaci
karya para sahabat utamanya itu.
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu
orang yang pertama kali beriman dengan Rasulullah SAW meskipun dia saat itu
masih kecil. Dia adalah putera Ali bin Abi Thalib paman Rasulullah s.a.w. dan
dikawinkan dengan puterinya yang bernama Fatimah yang dari pihak inilah
Rasulullah memperoleh keturunan.
Ali semanjak kecilnya sudah dididik
dengan adab dan budi pekerti Islam, dia termasuk orang yang sangat fasih
berbicara dan pengetahuannya juga tentang Islam sangat luas sehingga tidak heran
dia adalah salah satu periwayat yang terbanyak meriwayatkan hadits Rasulullah
s.a.w.
Ali menggantikan kekhalifahan Utsman
bin Affan yang telah meninggal sebelum jabatannya berakhir selama kurang
lebih sekitar lima tahun, setelah sebelumnya dilakukan bai’at, dia banyak
melakukan perubahan hukum ketatanegaraan seperti kebijakan tentang hak
pertanahan, pembagian harta warisan perang. Juga timbul bermacam-macam masalah
yang dapat mempengaruhi kemajuan dan kemunduran negara Islam.
Banyak peperangan yang terjadi pada
masa khalifah Ali bin Abi Thalib dan yang terpenting adalah perang Jamal (Unta)
dan perang Shiffin.
B.
BIOGRAFI SINGKAT ALI BIN ABI THALIB
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada
tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali
dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi’ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka’bah. Ketika Fatimah bint Asad sedang thawaf
mengelilingi Ka’bah, dan merasakan perutnya mulai mengalami kontraksi
tanda-tanda kelahiran.
Ketika itu lahirlah sosok bayi mungil
putra terakhir Abu Thalib. Lahir “Fi Jaufi Ka’bah” dan menjadi
satu-satunya suku Qurasy yang lahir di dalam Ka’bah dan sesama keturuan Qurays.
Usia Ali terhadap Rasulullah SAW masih
diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada
yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau lahir bernama
Haydar bin Abu Thalib, paman Rasulullah s.a.w. Haydar yang berarti Singa
adalah harapan keluarga Abu Thalib
untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani
diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir
diberi nama Haydar, Rasulullah s.a.w. terkesan tidak suka, karena itu mulai
memanggil dengan Ali yang berarti luhur, tinggi dan agung (derajat di sisi
Allah).
Ali merupakan nama yang asing
ditelinga orang Arab pada umumnya pada waktu itu. Dinamakan Ali karena lahir
ditempat yang dianggap tinggi derajatnya dan untuk memuliakan tempat tersebut,
serta harapan dan doa kelak menjadi orang yang mulia.[2]
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak
memberi hiburan bagi Rasulullah s.aw. karena beliau tidak punya anak laki-laki.
Uzur dan faqir-nya keluarga Abu Thalib
memberi kesempatan bagi Rasulu bersama istri beliau Khadijah
untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk
membalas jasa kepada Abu Thalib
yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari
kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Keduanya termasuk orang hamidiyah (baik dari segi budinya). Maka Ali
diasuh di lingkungan yang senantiasa dilingkupi kebaikan. Kelak ini pulalah
yang mempengaruhi pertumbuhan jiwa dan raga, alam pemikirannya.
Ketika Rasulullah s.aw. menerima
wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan
Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke dua
yang percaya setelah Khadijah
istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar 10 tahun.[3]
Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama
dari kalangan Quraisy yang lahir dari ibu dan bapak yang sama-sama dari
keturunan Bani Hasyim. Sebelum itu keluarga Bani Hasyim selalu bersemenda
dengan keluarga lain di luar mereka. Kuniah-nya adalah Abu Hasan, ia
digelari Abu Turab dan Karramallahu Wajha. Ia adalah sepupu Nabi
Muhammad s.a.w. sekaligus menantu Nabi, Ali bin abi Thalib menikah dengan
Fatimah, putri Rasulullah saw dengan Khadijah. Ali bertunangan dengan Fatimah
sebelum Perang Badar tetapi pernikahan mereka dilangsungkan kira-kira tiga
bulan selepas itu. Ketika itu Ali berusia 21 tahun dan Fatimah berusia 15
tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun,
Ali banyak belajar langsung dari Rasulullah s.a.w. karena sebagai anak asuh,
berkesempatan selalu dekat dengan Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri
Beliau yang bernama Fatimah. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum
Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani atau yang kemudian
dikenal dengan istilah Tasawuf yang
diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi tidak kepada Murid-murid atau
Sahabat-sahabat yang lain.[4]
Bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang
mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus
disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa
diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan
langsung dari Rasulullah s.a.w. kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik
aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf
menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak,
fasih dalam berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan
hadits Rasulullah s.aw.[5]
Selain itu Ali adalah orang yang sangat
berani dan perkasa dan selalu hadir pada setiap peperangan karena itu dia
selalu berada di barisan paling depan pada setiap peperangan yang dipimpin
Rasulullah.
Ali bin Abi Thalib dikenal pemberani,
sewaktu Nabi saw mau meninggalkan rumah pada malam peristiwa hijrah ke Madinah,
Nabi berpesan kepada Ali supaya tidur di perbaringannya. Ali dengan tenang
menerima arahan Nabi saw dan tidur dengan nyenyaknya sehingga orang-orang kafir
Mekah menyerbu masuk ke rumah Nabi dan menyergap Ali yang disangka Nabi saw
itu. Tidak hanya diuruh menggantikan perannya tidur di pembaringan Nabi, Ali
juga diberikan amanat untuk menjaga barang-barang dan harta titipin kaum qurays
kepada Nabi agar dijaga dengan baik.
Suatu ketika Ali juga diberikan tugas
memimpin rombongan perempuan berhijrah menyusul Nabi Muhammad s.a.w. Beliau
menghalau kaum qurays yang menghalangi perjalanannya, beliau juga rela berjalan
kaki sepanjang kurang lebih 500 mil menuju Madinah. Inilah juga yang kelak
menjadikannya sebagai menantu Rasul, karena pengorbanannya yang luar biasa.
Demikian pula peranannya dalam perang
badar bersama Nabi dan para sahabat, perang uhud, perang parit dan
tempat-tempat lainnya. Dalam perang khandak misalnya, tak ada yang berani
menyambut tantangan duel Amr bin Abdul Wudd selain Ali. Ali maju dan duel pun
terjadi dan dalam waktu tak seberapa lama Ali berhasil memisahkan kepala jago
tanding Quraisy itu dari badannya.
Selain pemberani, Ali bin abi Thalib
juga dikenal dengan akhlaknya yang sangat terpuji, ia rendah hati, lapang dada,
tidak pendendam, selalu memelihara silaturahmi. Ia seorang yang zuhud serta
wara’. Beliau adalah orang yang sarat dengan ilmu, tempat para sahabat
terkemuka bertanya dalam masalah hukum-hukum-hukum agama yang musykil atau
tentang makna sebuah ayat dalam al-Quran atau tafsirnya.
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai
orang alim dan cerdas, ketika Abu Bakar menjadi khalifah, dia tidak dalam
musyawarah penting. Demikian pula halnya ketika Umar bin Khattab menjadi
Khalifah yang kedua, dia tetap memperoleh kemuliaan dan penghormatan dari Umar
bin Khattab sebagaimana semasa pemerintahan Abu Bakar, Walaupun diketahui bahwa Umar bin Khattab
terkenal sebagai sahabat yang sangat ahli dan bijak dalam bidang hukum, namun
baginda sering minta bantuan kepada Ali bin Abi Thalib di dalam menyelesaikan
beberapa hal yang sulit bahkan dalam riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab tidak suka
merundingkan soal-soal yang sulit tanpa dihadiri oleh Ali Bin Abu Talib.
Perubahan drastis ditunjukkan Ali
setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan
Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang
lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya
menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh
kata-kata Rasulullah, “jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu
gerbangnya”. Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu
tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia ‘terbangun’ kembali ke gelanggang
untuk menyelesaikan ‘benang ruwet’, sebuah nokta merah dalam sejarah Islam.
Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.
C.
PEMBAIATAN ALI BIN ABI THALIB SEBAGAI KHALIFAH DAN KEMAJUAN YANG DICAPAI
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum
muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka
beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi
khalifah setelah Utsman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata,
“Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah
perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[6]
perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[6]
Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah
masuk masuk nominasi pada saat pemilihan khalifah Utsman bin Affan, tetapi saat
itu dia masih dianggap sangat muda. Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah menggantikan Utsman bin Affan, sebagian orang yang masih
terpaut keluarga Utsman mulai beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib akan mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk memperoleh
kekayaan yang dapat mereka lakukan sebelumnya.
Ali Terpilih menjadi khalifah
sebenarnya menimbulkan pertentangan dari pihak yang ingin menjadi khalifah dan
dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan.[7]
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali,
maka cara-cara pemerintahan Umar yang keras dan disiplin akan kembali dan akan
mengancam kesenangan dan kenikmatan hidup dimasa pemerintahan Utsman bin
Affan yang mudah dan lunak menjadi keadaan yang serba teliti, dan serba
diperhitungkan, hingga banyak yang tidak menyukai Ali. bagi kaum Umayah sebagai
kaum elit dan kelas atas dan khawatir atas kekayaan dan kesenangan mereka akan
lenyap karena keadilan yang akan dijalankan Ali.[8]
Dalam menjalankan kepemerintahan Ali
melakukan kebijakan politik seperti sebagai berikut :
- Menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor bisnis.
- Memecat Gubernur yang diangkat Utsman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang baru.
- Mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Utsman bin Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak diketahui alasannya secara jelas dan memfungsikan kembali baitul maal.[9]
Meskipun dalam pemerintahan Ali
perluasan Islam yang dilakukan sedikit mengalami kendala yaitu hanya memperkuat
wilayah Islam di daerah pesisir Arab dan masih tetap peranan penting negara
Islam di daerah yang telah ditaklukkan Abu Bakar di daerah Yaman, Oman,
Bahrain, Iran Bagian Selatan. Umar bin Khattab di Persia, Syiria, Pantai Timur
Laut Tengah dan Mesir. Serta pada masa Utsman di Sijistan, Khurasa,
Azarbaijan, Armenia hingga Georgia.[10]
Ali bin Abi Thalib juga dikenal juga
seorang penyair ternama. Seperti syair berikut:
“Janganlah kamu berlaku aniaya jika
kamu mampu berlaku adil, karena tindak aniaya akan berujung pada ….., [11]
Syair-syair Ali akhirnya dibukukan
dalam kitab Nahj Al-Balaghah. Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama
lima tahun (35-40 H/656-661 M) tidak pernah sunyi dari pergolakan politik,
tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil.
Akhirnya praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus masalah
pemberontkan di berbagai wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di atas
kuda perang dan di depan pasukan yang masih setia dan mempercayainya dari pada
memikirkan administrasi negara yang teratur dan mengadakan ekspansi perluasan
wilayah (futuhat). Namun demikian, Ali berusaha menciptakan pemerintahan
yang bersih, berwibawa dan egaliter. Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan
Islam sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Sebenarnya pembaiatan Ali sebagai
khalifah adalah hal yang sangat wajar dan pertentangan itu adalah hal yang
wajar pula sebagai akibat pertentangan dan peristiwa-peristiwa sebelumnya
karena untuk memperebutkan kekuasaan yang diselingi kasus penuntutan atas
terbunuhnya Utsman dan juga pemecatan-pemecatan pejabat serta
pengembalian harta milik yang tidak jelas.
D.
PEMBERONTAKAN TERHADAP ALI BIN ABI THALIB
Kaum pemberontak tidak punya pilihan
lain kecuali mengangkat Ali karena ia adalah orang yang paling bijaksana di
kalangan semua suku. Ali memang tidak diragukan lagi yang mempunyai integritas
tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai. Namun demikian politik bukanlah
keahliannya, sehingga sebagai lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi
murni yang juga sebagai Gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah
dan sebagai politisi ia dapat mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat
ambisius dan terlebih lagi pernah diangkat oleh pendahulunya Utsman yang mana
kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai
khalifah Ali bin Abi Thalib mempunyai wewenang yang penuh untuk
menentukan bawahannya dan mencari yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh
karena itu dia memecat Muawiyah yang pada saat itu telah berhasil membangun
Syiria menjadi kota sangat strategis dan memiliki tentara yang cukup loyal
kepada Muawiyah. hal ini membuat tidak tinggal diam dan ingin melakukan
pemberontakan. [12]
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin
Abi Thalib bukanlah orang yang patut disalahkan dalam hal kematian khalifah
Utsman bin Affan dan tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum
mereka. Padahal Muawiyah sebenarnya tidak sebenarnya berminat menuntut kematian
Utsman bin Affan kecuali sebagai pemicu untuk memberontak terhadap Ali.[13]
Kejadian pembunuhan Utsman
hanyalah permulaan salah satu fitnah yang besar pengaruhnya pada skisme
dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam pembunuh itu atau simpatisan menjadi
sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah.[14]
Kondisi masyarakat yang sudah
terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak
banyak berhasil. Terhadap berbagai tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para
sahabat senior sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali.
Tetapi Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam
masalah pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas, dan
Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama
menunjukan kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar
bagi resistensi mereka terhadap Ali.[15]
Marshall GS. Hudgson memaparkan:
“Setelah itu dua lusin tahun setelah wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode
fitnah (yang berlangsung selama lima tahun). Yang makna harfiahnya “godaan”
atau “cobaan-cobaan”, suatu masa perang saudara untuk menguasai komunitas
muslim dan teritori-teritori taklukannya yang luas”.[16]
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa
pemerintahan Ali tidak terlepas dari berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha
memadamkan bentuk perlawanan dan pemberontakan sesama muslim tersebut yang di
dalamnya terlibat para sahabat senior. Perang saudara yang terjadi pada masa
Ali yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam dan menjadi suatu
kemunduran pergerakan Islam.
E.
PERANG JAMAL (UNTA)
Dinamakan perang Jamal, karena dalam
peristiwa tersebut, janda Rasulullah s.a.w., putri Abu Bakar Shiddiq. Aisyah
ikut dalam peperangan dengan mengendarai Unta. Perang ini berlangsung pada lima
hari terakhir Rabi’ul Akhir tahun 36 H./657 M.
Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali
sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang
menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan Untanya. Walaupun menurut sementara
ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan.
Keterlibatan Aisyah pada perang ini
pada mulanya menuntut atas kematian Utsman bin Affan terhadap Ali, sama seperti
yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika mengangkat bai’at pada Ali. Setelah itu
Aisyah pergi ke Mekkah, disusul oleh Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini
nampaknya mempunyai harapan tipis bahwa hukum akan ditegakkan. Karena menurut
ketiganya, Ali sudah menetapkan kebijakan sendiri karena ia didukung oleh kaum
perusuh. Kemudian mereka dengan dukungan dari keluarga Umayah menuntut balas
atas kematian Utsman. Akhirnya mereka pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan
dan di sana mereka mendapat dukungan masyarakat setempat.[17]
Ali beserta pasukannya yang sudah
berada di Kufah telah mendengar kabar bahwa di Syria (Syam) Muawiyah telah
bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan
menyiapkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut
terlaksana, tiga orang tokoh terkenal yaitu Aisyah, Thalhah, dan Zubair beserta
para pengikutnya di Basrah telah siap untuk memberontak kepada Ali. Ali pun
mengalihkan pasukannya ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali
alasannya bukan semata menuntut balas atas kematian Utsman, akan tetapi ada
semacam dendam pribadi antara dirinya dengan Ali. Dia masih teringat terhadap
peristiwa tuduhan selingkuh terhadap dirinya (hadits al-ifk), dimana
pada waktu itu Ali memberatkan dirinya. Faktor lain adalah persaingan dalam
pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul
dengan sikap Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar, dan yang terakhir
faktor Abdullah bin Zubair, kemenakannya, yang berambisi untuk menjadi
khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar memberontak terhadap
Ali.[18]
Seperti dikutip oleh Syalabi dari
Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam peperangan Jamal ini terjadi amat
sengitnya, sehingga Zubair melarikan diri dan dikejar oleh beberapa orang yang
benci kepadanya dan menewaskannya. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada
permulaan perang ini, sehingga perlawanan ini hanya dipimpin Aisyah hingga
akhirnya untanya dapat dibunuh maka berhentilah peperangan setelah itu. Ali
tidak mengusik-usik Aisyah bahkan dia menghormatinya dan mengembalikannya ke
Mekkah dengan penuh kehormatan dan kemuliaan.[19]
Menurut Thabari peperangan jamal
disebabkan oleh karena keinginan dan nafsu perseorangan yang timbul pada diri
Abdullah bin Zubair dan Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali.
Abdullah bin Zubair bernafsu besar untuk menduduki kursi khalifah dan kemudian
menghasut Aisyah sebagai Ummul Mukminin untuk segera memberontak terhadap Ali
bin Abi Thalib.[20]
Dalam pemerintahannya Ali ingin
menerapkan aturan-aturan pokok untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan.
Aturan ini jelas bertentangan dengan mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan
termasuk Zubair dan Thalhah. Terlebih lagi Ali sangat berhati-hati dalam
pembagian rampasan perang. Ia memberi bagian yang sama kepada semua orang tanpa
memandang status, suku dan asal-usul mereka. [21]
F.
PERANG SHIFFIN DAN TAHKIM
Disebut perang shiffin karena perang
yang menghadapkan pasukan pendukung Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah
berlangsung di Shiffin dekat tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini
berlangsung pada bulan Shafar tahun 37 H./658 M.[22]
Setelah kematian Utsman, pihak keluarga
Utsman dari Bani Umayah, dalam hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan
yang menajdi gubernur di Syam sejak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan
tuntutan atas kematian Utsman kepada Ali agar mengadili dan menghukum para
pembunuh khalifah Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi
yang sulit dan belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali tidak sanggup untuk
memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada waktu
menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah.
Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke
Damaskus ibu kota Syam, untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu
mengangkat bai’at atau meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau
menentukan pilihan sebelum tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak
sanggup menegakkan hukum sesuai syari’at, juga menuduh Ali dibalik pembunuhan
Utsman, hal ini ditandai dengan tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para
pemberontak bahkan pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak
angkat Ali, diangkat menjadi gubernur Mesir, akhirnya Mu’awiyah mengadakan
kampanye besar-besaran di wilayahnya menentang Ali, sehingga mendapat dukungan
dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya.
Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk melawan khalifah Ali.
Walaupun menurut ahli sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah itu sebenarnya
tidak murni menuntut balas atas kematian Utsman, tetapi ada ambisi untuk
menjadi khalifah.
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya
ia menyingkir ke Palestina. Ia sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik
dan pemerintahan pada masa awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan
diiming-imingi jabatan oleh Mu’awiyah, akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar
bingar dunia politik dan mempunyai peran yang sangat penting dalam peristiwa
perang Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal, Ali
mempersiapkan pasukannya lagi untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, dengan dukungan pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu
pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr.
Usaha-usaha untuk menghindari perang terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan
membai’atnya atau meletakkan jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada
pendiriannya untuk menolak tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya,
agar Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan
Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir memperoleh kemenangan, dan pihak tentara
Mu’awiyah bersiap-siap melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang
menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat perang
minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an.[23]
Dari pihak Ali mendesak menerima
tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan berat hati menerima arbitrase tersebut,
walaupun Ali mengetahui itu hanya sisat busuk dari Amr bin Ash. Sebagai
perantara dalam tahkim ini pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr
bin Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya
terdapat kesepakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan.
Kemudian setelah itu dipilih seorang khalifah yang baru. Selanjutnya, Abu Musa
al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu mengumumkan kepada khalayak umum
putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari dari jabatan-jabatan masing-masing.
Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan
dijatuhkannya Ali dari jabatan sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa
itu, maka yang berhak menjadi khalifah sekarang adalah Mu’awiyah.[24]
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara
politik merugikan Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah
adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur
daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya
arbitrase ini kedudukannya naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh
Ali yang tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.[25]
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga
tidak disetujui oleh sebagian tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan
Ali dan menganggap bahwa tindakan itu tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an
sehingga mereka keluar dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali
tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal
dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat
ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar
dari Islam karena tidak berhukum pada hukum Allah. Khawarij memandang Ali,
Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima
arbitrase adalah kafir.[26]
Kaum khawarij semula hanya merupakan
gerakan pemberontak politik saja, tetapi kemudian berubah menjadi sebuah aliran
dalam pemahaman agama Islam (sekte).
G.
AKHIR PEMERINTAHAN ALI
Dengan terjadinya berbagai
pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut
Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai
ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan
Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya.
Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan
Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan
untuk menghukum orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat
untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka
hanya berhasil membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan
tahun 40 H./661 M., oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi
membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah
dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut.[27]
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian
dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan
tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat
perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam
satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain,
perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam.
Tahun 41 H. (661 M.), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun
jama’ah (’am jama’ah). Dengan demikian berakhirlah masa yang
disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah
dalam sejarah politik Islam.[28]
H.
PESAN TERMAKNA SERAJAH ALI KEPADA KITA
Dari uraian makalah singkat ini, dengan
segala keterbatasan, penulis mencoba mengurai benang merah makna tersirat dalam
sejarah Sahabat Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah sebagai berikut
:
Pertama; Bahwa sebuah penamaan
yang baik bagi seorang Anak merupakan hal yang penting, tidak bisa
dikesampingkan. Sebab dengan nama baik akan memberikan dampak positif baginya.
Peralihan nama Haidar/Asad menjadi Ali merupakan hijrah pertama menuju kebaikan
pada diri Ali bin Abi Thalib.
Kedua; Lingkungan keluarga
akan sangat menentukan dalam pendidikan pribadi anak. Keluarga, lingkungan yang
baik akan menumbuhkan, mencetak generasi unggul. Sebagaimana Ali dibentuk dalam
suasana dan pasangan al-hamidiyah Muhammad s.a.w. dan Khadijah Al-Kubra.
Ketiga; Ali diberikan amanat,
berupa titipan dari Nabi untuk tidur menggantikan beliau karena makar kaum
Qurays. Tidak hanya itu, ia juga dipesankan agar menjaga baik-baik harta benda
kaum Quraisy yang dititipkan kepada Nabi. Walaupun kaum Quraisy tidak percaya
kenabiannya, tetapi mereka percaya bahwa Muhammad adalah orang jujur.
Filosofinya adalah, tempat-tempat penitipan seperti “Bank” harus berlaku
amanah, memberikan rasa aman kepada nasabahnya sebagaimana yang dilakukan Nabi
dan Ali dalam memelihara harta dan benda titipan.
Keempat; Ketika Ali melamar
Sayyidah Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah. Beliau tidak mempunyai harta
apapun, melainkan baju perang pemberian Rasul. Maka itu pulalah yang dijadikan
sebagai maharnya. Singkatnya, bahwa Nabi merayakan pernikahannya dengan
sederhana, singkat, dan tidak bertele-tele menentukan pasangan putrinya, tetapi
sudah tahu secara sempurna siapa pasangannya. Tidak seperti masa sekarang yang
membutuhkan berliku-liku perjalanan, tetapi belum tentu dengan pasti siapa
sesungguhnya pribadi menantunya.
Kelima; Bahwa suatu
ketamakan, kebencian dan fitnah menimbulkan dampak yang lebih besar dari
sekedar pembunuhan, dilukiskan perbuatan-perbuatan yang dilakukan Mu’awiyah,
Amr. bin Ash, Thalhah dan Zubair dapat menjadikan disintegrasi umat Islam.
Karena perbuatan demikian, terjadilah pertumpahan darah.
Keenam; Seberat apapun
rintangan, cobaan dan mara bahaya yang dihadapi kebenaran dan keadilan di
tengah-tegah umat harus ditegakkan dan harus menjunjung tinggi undang-undang
(keputusan) yang berlaku.
Ketujuh; Pada masa sepeninggal
Rasulullah, beliau Sayyidina Ali menjadi pemikir, menajamkan pandangan
bathinnya untuk mendalami agama dan hubungunnya dengan sesama makhluknya.
Menginspirasi kepada kita, supaya senantiasa terus berfikir dan tidak stagnan
dalam kehidupan bergama membangun sebuah peradaban.
I.
PENUTUP
Setelah Utsman wafat, masyarakat
membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan memerintah selama hanya lima
tahun. Banyak yang dicapai Ali sebagai khalifah, di antaranya adalah (1)
mengembalikan sistem pemerintahan, Administrasi keuangan dan harta, (2)
Pengembalian harta dan tanah negara yang dikuasai sepihak, (3) mengisi
kembali fungsi baitul mal.
Selama masa pemerintahannya ia
menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya
yang dapat dikatakan stabil, setelah ia memecat para gubernur (kepala daerah)
yang diangkat Utsman bin Affan. Dia juga mengambil kembali tanah-tanah
negara yang dibagikan Utsman dengan alasan yang tidak jelas.
Terjadinya perang Jamal adalah Konflik
pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan tiga tokoh Islam yaitu Aisyah, Thalhah
dan Abdullah bin Zubair. Hal ini diakibatkan oleh kepentingan politik yaitu
menjadi khalifah khususnya Abdullah bin Zubair.
Perang Shiffin adalah perang khalifah
melawan Mu’awiyah yang juga banyak korban sesama orang Islam yang diakhiri
dengan arbitrase (tahkim) yang sangat merugikan pihak khalifah Ali bin Abi
Thalib. Hal ini menimbulkan perpecahan tentara Ali yang mendukung tahkim dan
menolak. Pihak yang menolak dikenal dengan khawarij.
Ahli Sejarawan Islam Syihritini pernah
berkata : “Tidak ada masalah yang lebih banyak menimbulkan pertumpahan darah
dalam Islam selain masalah kekhalifahan”.
Ibnu Khaldun menulis, “sebagai akibat
dari kekuasaan dan kekayaan ketegaran kehidupan padang pasir menjadi hilang”.
DAFTAR PUSTAKA
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan
Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982.
Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan
Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Budhi Munawwar Rachman, Ensiklopedi
Nur Cholish Majid, Mizan, Jakarta, 2006
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran
Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press, Banjarmasin, 2008.
Hasan, As’ari, Menguak Sejarah
Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung, 2006
http://id.wikipedia.org/wiki/
http://www.cybermq.com
Marshall GS Hudgson, The Venture of
Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara,
Paramadina, Jakarta, 1999,
Sou’yb Jousouf, Sejarah Daulat
Khulafaur Rasyidin, Jakarta, Bulan Bintang, 1979
Syeikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh
Islam Sepanjang Sejarah, Terj. Khoiril Amru Harahap, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2007
[1] Lihat Ushulul Hadits hal. 386, dinukil dari Al-Ihkam
fil Ushulil-Ahkam
[2] Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Lihat Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan
Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982, h.281
[6] Ibid, h.284
[7] Lihat Hadariansyah AB, Pemikiran-Pemikiran
Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press, Banjarmasin, 2008,
h. 13
[8] Lihat Syalabi, Loc. Cit. h. 283
[9] Lihat Ibid, 284-285 juga di dapat penjelasan
lebih lanjut oleh Marshall GS Hudgson, The Venture of Islam, Iman dan
Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina,
Jakarta, 1999, h. 312
[10] Lihat As’ari, Hasan, Menguak Syarah
Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung, 2006, h. 253.
[11] Lihat Mursi, Syeikh Muhammad Sa’id, Tokoh-Tokoh
Islam Sepanjang Sejarah, Terj. Khoiril Amru Harahap, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2007, h. 22
[12] Lihat Engineer, Asghar Ali, Asal Usul dan
Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h. 259
[13] Ibid, h. 260
[14] Lihat Rachman, Budhi Munawwar, Ensiklopedi
Nur Cholish Majid, Mizan, 2006, h.146-147
[15] Lihat Syalabi, Ibid, h 285
[16] Lihat Hudgson, Marshall GS, The Venture
of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi
Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999, h. 309
[17] Lihat Sou’yb Jousouf, Sejarah Daulat
Khulafaur Rasyidin Jakarta, Bulan Bintang, 1979, h. 471
[18] Lihat Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka
Al-Husna, Jakarta, 1982, h.288-289
[19] Ibid, h.292-293
[20] Ibid, h. 296-297
[21] Lihat Engineer, Asghar Ali, Asal-Usul dan
Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h. 260-262
[22] Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Shiffin
[23] Lihat Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran
Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, h. 14-15
[24] Ibid, h. 16
[25] Lihat Nasution, Harun, Telogi Islam
Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986 h. 5
[26] Lihat Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka
Al-Husna, Jakarta, 1982, 306-307
[27] Ibid
[28] Lihat http://www.cybermq.com
www.darunnajah-cipining.com
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungan teman-teman. silahkan postkan komentar teman semuanya. :-)