AHMAD YAHDIANIhttp://www.yahdianiahmad.blogspot.com/search/label/BAHAN%20AJAR

KERAJAAN TURKI USMANI

A.          PENDAHULUAN
Abad pertengahan di Eropa sering disebut zaman kemunduran jika dibandingkan dengan zaman klasik (Yunani-Romawi). Sebaliknya Negara-negara Arab pada abad pertengahan mengalami kemajuan, namun akhirnya negeri itu sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan dalam bidang kebudayaan dan kekuasaan.
Abbasiyah adalah satu diantara banyak khilafah besar yang pernah ada dan memberikan konstribusi besar terhadap peradaban Islam.
Keruntuhan Abbasiyah di Baghdad akibat serangan tentara Mongol. Secara politik kekuatannya makin melemah dan mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tidak mampu dikendalikan lagi hingga terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan kecil, yang diantara mereka saling memperebutkan kekuasaan.

Banyak peninggalan budaya dan peradaban Islam musnah akibat serangan itu. Di sisi lain, keadaan juga diperparah oleh serangan Timur Lenk yang menghancurkan kekuasaan Islam lainnya.[1]
Keadaan politik Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar : Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia. Kerajaan Usmani, di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan di banding dua kerajaan lainnya, Safawi dan Mughal.
Sejarah kerajaan Turki Usmani yang ditulis di dalam buku-buku tarikh Islam di Indonesia sering tidak mendapat porsi sebanyak yang diperoleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Melihat dari hasil budaya yang dipersembahkannya dipermukaan, Dinasti Turki Usmani ini tidaklah bisa disamakan dengan kedua dinasti sebelumnya. Tetapi melihat peranannya sebagai benteng kekuatan Islam dalam menangkal ekspansi bangsa Eropa ke timur, maka dengan ini ia tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kajian sejarah Islam.
Turki Usmani telah menunjukkan kehebatannya dalam menangkis serangan musuh. Serangan-serangan perluasan yang dilakukannya langsung menusuk ke wilayah penting, termasuk penaklukan Konstantinopel.

B.    MUNCULNYA KERAJAAN TURKI USMANI
Pendiri dari kerajaan Turki ini adalah bangsa Turki dari kabilah Qayigh Oghus, salah satu anak suku Turk yang mendiami sebelah barat gurun Gobi, atau daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina.[2]
Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah.[3]
Sulaiman sebagai kepala kabilah mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa mongol yang menyerang dunia Islam yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm pada tahun 1219-1220.
Dia dan anggota sukunya lari ke arah Barat dan meminta perlindungan kepada Jalaluddin, pemimpin terakhir Dinasti Khawarizm di Transoxiana (mâ wara al-Nahr). Jalaluddin menyuruh Sulaiman agar pergi ke arah Barat (Asia Kecil). Kemudian mereka menetap di sana dan pindah ke Syam dalam rangka menghindari serangan mongol.
Dalam usahanya pindah ke Syam itu, pemimpin orang-orang Turki mendapat kecelakaan. Mereka hanyut di sungai Efrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar pada tahun 1228.[4]
Akhirnya mereka terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri asalnya dan yang kedua meneruskan perjalanannya ke Asia kecil. Kelompok kedua berjumlah 400 kepala keluarga yang dipimpin oleh Ertugril (Ertoghrul) ibn Sulaiman.
Mereka mengabdikan dirinya dirinya kepada Sultan Alauddin II dari Dinasti Saljuk Rum yang pusat pemerintahannya di Kuniya, Anatolia Asia Kecil. Pada saat itu, Sultan Alauddin II sedang menghadapi bahaya peperangan dari bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan di Romawi Timur (Byzantium).
Dengan bantuan dari bangsa Turki pimpinan Ertoghrul, Sultan Alauddin II dapat mencapai kemenangan. Atas jasa baik tersebut Sultan menghadiahkan sebidang tanah yang perbatasan dengan Bizantium. Sejak itu Ertoghrul terus membina wilayah barunya dan berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut wilayah Byzantium.[5]
Pada tahun 1288 Ertoghrul meninggal dunia, dan meninggalkan putranya yang bernama Usman, yang diperkirakan lahir pada 1258 M. usman inilah yang ditunjuk oleh Ertoghrul untuk meneruskan kepemimpinannya dan disetujui serta didukung oleh Sultan Saljuk pada saat itu.
Nama Usman inilah yang nanti diambil sebagai nama untuk Kerajaan Turki Usmani. Usman ini pula yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Usmani. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II. Kemenangan-kemenangan dalam setiap pertempuran dan peperangan diraih oleh Usman. Dan berkat keberhasilannya maka benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan Broessa dapat ditaklukkan. Keberhasilan Usman ini membuat Sultan Alauddin II semakin simpati dan banyak memberi hak istimewa pada Usman.
Bahkan Usman diangkat menjadi gubernur dengan gelar Bey, dan namanya selalu disebut dalam do’a setiap khutbah Jum’at.[6] Penyerangan Bangsa Mongol pada tahun 1300 ke wilayah kekuasaan Saljuk Rum mengakibatkan terbunuhnya Sultan Saljuk tanpa meninggalkan putra sebagai pewaris kesultanan. Dalam keadaan kosong itulah, Usman memerdekakan wilayahnya dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol. Usman memproklamirkan kemerdekaan wilayahnya dengan nama Kesultanan Usmani yang bergelar Padisyah Al Usman (raja besar keluarga Usman).
C.  PERKEMBANGAN TURKI USMANI
Setelah Usman mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja besar keluarga Usman), pada tahun 1300 M. Dia mulai memperluas wilayahnya.[7]
Ekspansi para Sultan Usmani menjadi model. Hal ini berlangsung paling tidak sampai dengan masa Pemerintahan Sulaiman I. untuk mendukung hal itu, Orkhan membentuk pasukan tangguh yang dikenal dengan Inkisyariyyah. Pasukan Inkisyariyah adalah tentara utama Dinasti Usmani yang terdiri dari bangsa Georgia dan Armenia yang baru masuk Islam.[8] Ternyata, dengan pasukan tersebut seolah-olah Dinasti Usmani memiliki mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi penaklukan negeri-negeri nonMuslim. Maka pada masa orkhan I kerajaan Turki Usmani dapat ditaklukkan Azmir (Asia kecil), tahun 1327, Thawasyani (1330), Uskandar (1338), Ankara (1354), dan Gholipolli (1356). Daerah-derah ini adalah bagian dunia eropa yang pertama kali dapat dikuasai kerajaan Usmani.
Perluasan wilayah lebih besar terjadi pada masa Murad I. di masa ini berhasil ditaklukan wilayah Balkan, Adrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (ibukota Bulgaria) dan seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan yang diraih oleh Murad I, kerajaan-kerajaan Kristen di Balkan dan Eropa timur menjadi Murka. Mereka lalu menyusun kekuatan yang terdiri atas Hongaria, Bulgaria Serbia dan Walacia (Rumania), untuk menggempur Dinasti Usmani. Meskipun Murad I tewas dalam pertempuran tersebut, kemenangan tetap dipihak Dinasti Usmani. Ekspansi berkutnya dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I.
Sultan Bayazid naik tahta tahun 1389 M. dengan mendapat gelar Yaldirin atau Yaldrum yang berarti kilat, karena terkenal dengan serangan-serangannya yang cepat terhadap lawan-lawannya. Perluasan wilayah terus berlanjut dan dapat menguasai Salocia dan Morea. Bayazid juga memperoleh kemenangan dalam perang salib di Nicapolas (1394).
Ketika Sultan Bayazid sedang memusatkan perhatiannya untuk menghadapi musuh-musuhnya di Eropa. Ia ditantang oleh Musuh sesama Muslim yang datang dari Timur Lenk. Seorang raja keturunan bangsa Mongol yang telah memeluk Islam dan berpusat di Samarkhand. Timur Lenk mendapat dukungan dari negeri-negeri di Asia Kecil yang tidak mau tunduk kepada Bayazid. Akhirnya terjadi pertempuran hebat di Ankara tahun 1402 M. Bayazid dengan kedua putranya, Musa dan Ergthogrol dikalahkan dan di tawan oleh Timur Lenk tahun 1402. kekalahan ini membawa akibat buruk bagi Turki Usmani. Penguasa-penguasa di Asia kecil melepaskan diri dari pemerintahan Usmani. Wilayah Serbia dan Bulgaria memproklamirkan kemerdekaannya.[9]
Puncak ekspansi terjadi pada masa Sultan Muhammad II yang dikenal dengan gelar al-Fatih (sang penakluk). Pada masanya dilakukan ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran. Kota penting yang berhasil ditaklukannya adalah Constantinopel (kota kerajaan Romawi Timur) yang ditaklukkan pada tahun 1453. setelah ditaklukkan, kota tersebut diubah namanya menjadi Istambul (tahta Islam). Kejatuhan Constantinopel ke tangan Dinasti Usmani memudahkan tentara Usmani menaklukkan wilayah lainnya, seperti Serbia, Albania dan Hongaria.
Sultan Muhammad meninggal pada tahun 1481 M. digantikan oleh putranya Bayazid II. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Bayazid II lebih mementingkan kehidupan tasawuf dari pada penaklukkan wilayah dan perang. Hal ini menimbulkan perselisihan yang panjang sehingga pada akhirnya Sultan Bayazid II mengundurkan diri dari kursi kesultanan pada tahun 1512 M. Pengganti berikutnya putranya bernama Salim I. pada masa Sultan Salim I, pemerintahan Usmani bertambah luas hingga menembus Afrika utara, Syiria dapat ditaklukkan dan Mesir yang diperintah oleh kaum Mamalik ditundukkan pada tahun 1517 M. Pada masa inilah para Sultan Usmani menyandang gelar khalifah.[10]
Menurut Ahmad Syalabi, Sultan Salim I pernah meminta kepada khalifah Abbasiyah di Mesir agar menyerahkan kekhalifahan kepadanya, ketika ia menaklukkan Dinasti mamalik. Pendapat lain menyebutkan bahwa gelar “khalifah” sebenarnya sudah digunakan oleh Sultan Murad (1359-1389 M.) setelah ia berhasil menaklukkan Asia kecil dan Eropa. Dari dua pendapat ini, Ahmad Syalabi berkesimpulan, para Sultan kerajaan Usmani memang tidak perlu menunggu khalifah Abbasiyah menyerahkan gelar itu, karena jauh sebelum masa kerajaan Usmani sudah ada tiga khalifah dalam satu masa.[11]
Pada abad ke 10 M., para penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir sudah memakai gelar khalifah. Tidak lama setelah itu, Abdur Rahman al-Nashir di Spanyol menyatakan diri sebagai khalifah melanjutkan Dinasti bani Umayyah di Damaskus, bahkan ia mencela para pendahulunya yang berkuasa di Spanyol yang merasa cukup dengan gelar “Amir” saja. Karena itu ada kemungkinan para penguasa Usmani memang sudah menggunakan gelar khalifah jauh sebelum mereka dapat menaklukkan Dinasti mamalik, tempat pusat pemerintahan para khalifah Abbasiyah.[12]
Dengan adanya berbagai ekspansi, menyebabkan ibukota Dinasti Usmani berpindah-pindah. Sebagai contoh, sebelum Usman I memimpin Dinasti Usmani, ia mengambil kota Sogud sebagai ibukotanya. Kemudian setelah penguasa Dinasti Usmani dapat menaklukkan Broessa pada tahun 1317, maka pada tahun 1326 Broessa dijadikan ibukota pemerintahan. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Murad I. ternyata, di masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu dijadikan sebagai ibukota pemerintahan. Sampai ditaklukkanya Constantinopel oleh Muhammad II, yang kemudian diganti namanya menjadi Istambul sebagai ibukota pemerintahan yang terakhir.
Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Dinasti Usmani dalam perluasan wilayah Islam. (1) kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). (2) sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan untuk tujuan penyerangan. (3) semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam. (4) letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istambul terletak antara dua benua dan dua selat (selat Bosphaoras dan selat Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur. (5) kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti Usmani mengalahkannya.[13]
D.  KEMAJUAN TURKI USMANI
Dari kemajuan-kemajuan kerajaan Turki Usmani yang telah diukirnya, bidang militerlah yang lebih menonjol. Hal ini dibuktikan dengan suksesnya perluasan wilayah dari Benua Asia sampai dengan Benua Eropa.
Tumbangnya dua kerajaan adidaya di tangan Turki Usmani membuktikan hegemoni kekuatan militernya. Namun di samping kekuatan militer ada juga kemajuan lain yang dicapai, diantaranya sebagai berikut :
1.  Sosial Politik dan Administrasi Negara
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani berlangsung dengan cepat, hal ini diikuti pula oleh kemajuan dalam bidang politik, terutama dalam hal mempertahankan eksistensinya sebagai negara besar. Hal ini berkaitan erat dengan sistem pemerintahan yang diterapkan para pemimpin Dinasti ini. Selain itu, tradisi yang berlalu saat itu telah membentuk stratifikasi yang membedakan secara menyolok antara kelompok penguasa (small group of rulers) dan rakyat biasa (large mass). Penguasa yang begitu kuat itu bahkan memiliki keistimewaan: (1) pengakuan dari bawahan untuk loyal pada Sultan dan negara, (2) penerimaan dan pengamalan, serta sistem berfikir dalam bertindak dalam agama yang dianut merupakan kerangka yang integral, (3) pengetahuan dan amalan tentang sistem adat yang rumit. Yang terpenting adalah bahwa para pejabat dalam hal apapun tetap sebagai budak Sultan. Tugas utama seluruh warga negara, baik pejabat maupun rakyat biasa adalah mengabdi untuk keunggulan Islam, melaksanakan hukum serta mempertahankan keutuhan imperium.
Sebagai struktur masyarakatnya sangat heterogen, Dinasti Usmani mempunyai kekuasaan yang menentukan nasib warga Timur Tengah dan Balkan, sampai pada tingkat yang luar biasa. Dinasti Usmani tersebut mendominasi, mengendalikan dan membentuk masyarakat yang dikuasainya. Salah satu konsep utama yang diterapkan oleh Usmani adalah perbedan antara askeri dan ri’aya, yakni antara kalangan elit penguasa dan yang dikuasai, elit pemerintah dan warga Negara, antara tentara dan pedagang, antar petugas pemungut pajak dan pembayar pajak. Bahkan, untuk menjadi kelas penguasa seseorang harus dididik dalam kebahasaan dan tata cara yang khusus yang disebut dengan tata cara Usman. Seseorang dapat menjadi elit Usmani melalui keturunan atau melalui pendidikan sekolah-sekolah kerajaan, kemiliteran atau pendidikan sekolah keagamaan.
2.  Bidang Militer
kerajaan Turki Usmani telah mampu menciptakan pasukan militer yang mampu mengubah Negara Turki menjadi Mesin perang yang paling tangguh dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan negeri-negeri non Muslim. Bangsa-bangsa non Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen di asramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
Ketika terjadi kekisruan ditubuh militer, maka Orkhan mengadakan perombakan dan pembaharuan, yang dimulai dari pemimpin-pemimpin personil militer. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut dengan pasukan Janissari atau Inkisyariyah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan kuat dalam penaklukan negeri Non Muslim. Selain itu, ada juga ada juga tentara feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat, pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah.[14]
Keberhasilan ekspansi wilayah dibarengi dengan terciptanya jaringan pemerintah yang teratur. Di masa Sulaiman I, disusunlah sebuah kitab undang-undang (qonun) yang diberi nama Multaqa al-Abhur. Kitab ini menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi abad ke-19.
Pengelolaan administrasi pemerintah tidaak hanya terbatas sampai ketingkat propinsi, tetapi selanjutnya diefektifkan dengan membentuk daerah-daerah tingkat II yang dikepalai masing-masing seorang kepala daerah (sanjaks). Di tingkat pusat, di samping ada sultan ada grand vizier (perdana menteri) yang dibantu oleh beberapa pembantu,diantaranya oleh para ulama yang berfungsi sebagai lembaga pemberi fatwa atau dewan pertimbangan.
Sebuah administrasi birokratik sangat diperlukan dalam pengkajian militer budak. Orkhan (1324-1360) melantik seorang wazir untuk menangani administrasi dan kemiliteran pusat dan mengangkat sejumlah gubernur sipil untuk sejumlah propinsi yang ditaklukkan. Kepala-kepala jabatan disatukan dalam sebuah dewan kerajaan. Lantaran Dinasti Usmani semakin meluas, beberapa propinsi yang semula merupakan daerah jajahan yang harus menyerahkan upeti digabungkan menjadi sebuah sistem administrasi. Unit propensial yang terbesar, yang dinamakan baylerbayliks, dibagi menjadi sanjak-bayliks dan selanjutnya dibagi-bagi menjadi timarliks yang distrik tersebut diserahkan kepada pejabat-pejabat militer sebagai pengganti gaji mereka. Pada abad ke-16, term vali telah menggantikan baylerbayliks dengan pengertian seorang gubernur, dan term eyelet digunakan dengan arti propisi di Eropa, yakni Rumania dan Transilvania, Crimea, dan beberapa distrik di Anotalia yang berada dalam pengawasan masyarakat Kurdi dan Turki tetap berlangsung sebagai propinsi semi mereka yang wajib menyerahkan upeti.
3.  Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Dalam bidang pendidikan, Dinasti Usmani mengantarkan pada pengorganisasian sebuah sistem pendidikan madrasah yang tersebar luas. Madrasah Usmani pertama didirikan di Izmir pada tahun 1331, ketika itu sejumlah ulama di datangkan dari Iran dan Mesir untuk mengembangkan pengajaran Muslim dibeberapa teritorial baru.
Tapi hal ini tidak begitu berkembang, karena Turki Usmani lebih memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sehingga dalam khazanah Intelektual Islam kita tidak menjumpai ilmuan terkemuka dari Turki Usmani.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, memang kerajaan Turki Usmani tidak menghasilkan karya-karya dan penelitian-penelitian ilmiah seperti di masa Daulah Abbasiyah. Kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadis boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan), dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap karya-karya klasik yang telah ada. Namun dalam bidang seni arsitektur, Turki Usmani banyak meninggalkan karya-karya agung berupa bangunan yang indah, seperti Masjid Jami’ Muhammad al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman dan Masjid Abu Ayyub al-Anshary serta masjid yang dulu asalnya dari gereja Aya Sophia. Masjid tersebut dihiasi dengan kaligrafi oleh Musa Azam.
Pada masa Sulaiman di kota-kota besar lainnya banyak dibangun masjid, sekolah rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum.
4.            Bidang Ekonomi dan Keuangan Negara
Karena Turki mengusai beberapa kota pelabuhan utama, seperti pelabuhan-pelabuhan sepanjang laut tengah (Afrika Utara), pelabuhan laut merah, teluk Persia, pelabuhan di Siria (pantai Libanon sekarang), pantai Asia Kecil dan yang paling strategis adalah pelabuhan Internasional Konstantinopel yang menjadi penghubung Timur dan Barat waktu itu, maka Turki menjadi penyelenggara perdagangan, pemungut pajak (cukai) pelabuhan yang menjadi sumber keuangan yang besar bagi Turki.
Keberhasilan Turki Usmani dalam memperluas kekuasaan dan penataan politik yang rapi, berimplikasi pada kemajuan social ekonomi Negara, tercatat beberapa kota industri yang ada pada waktu itu, antara lain: (a) Mesir yang memperoleh produksi kain sutra dan katun, (b) Anatoli memproduksi bahan tekstil dan wilayah pertanian yang subur. Kota Anatoli merupakan kota perdagangan yang penting di rute Timur dalam perindustrian dalam hasil industri dan pertanian di Istambul, polandia dan Rusia. Para pedagang dari dalam maupun dari luar negeri berdatangan sehingga wilayah Turki menjadi pusat perdagangan dunia pada saat itu.[15]
Selain dari sumber perdagangan, Turki Usmani memiliki sumber keuangan Negara yang sangat besar, yaitu dari harta rampasan perang, dari upeti tanda penaklukkan negara-negara yang ditundukkan serta dari orang-orang zhimmi.
E.           KERUNTUHAN TURKI USMANI
Faktor-Faktor Keruntuhan Khilafah Utsmaniyah (974-1171 H/1566-1757 M) diawali dengan kenaikan Sultan Salim II (1566-1574) telah dianggap sebagai permulaan keruntuhan Turki Utsmani dan berakhrnya zaman keemasannya.
Hal ini ditandai dengan melemahnnya semangat perjuangan prajurit Usmani yang menyebabkan sejumlah kekalahan dalam pertempuran menghadapi musuh-musuhnya. Pada tahun 1663, tentara Usmani menderita kekalahan dalam penyerbuan Hungaria. Tahun 1676 Turki kalah dalam pertempuran di Mohakez, Hungaria dan menandatangani perjanjian karlowits pada tahun 1699 yang berisi pernyataan seluruh wilayah Hungaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada penguasa Venetia.
Pada tahun 1774, penguasa Usmani, Abdul Hamid menandatangani perjanjian dengan Rusia yang berisi pengakuan kemerdekaan Crimenia dan penyerahan benteng-benteng pertahanan di laut hitam serta memberikan izin kepada rusia untuk melintasi selat antara laut hitam dengan laut putih.
Apabila dikategorikan, maka faktor-faktor keruntuhan kerajaan turki usmani adalah:
Faktor internal:
(1) Karena luas wilayah kekuasaan serta buruknya system pemerintahan, sehingga hilangnya keadilan, banyaknya korupsi dan meningkatnya kriminalitas. (2) Heterogenitas penduduk dan agama. (3) Kehidupan istimewa yang bermegahan. (4) Merosotnya perekonomian negara akibat peperangan yang pada sebagian besar peperangan Turki mengalami kekalahan.
Faktor Eksternal
(1) Munculnya gerakan nasionalisme. Bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan turki selama berkuasa, mulai menyadari kelemahan dinasti tersebut. Kemudian ketika turki mulai lemah mereka bangkit untuk melawannya. (2) Terjadinya kemajuan teknologi di barat khususnya bidang persenjataan. (Turki selalu mengalami kekalahan karena mereka masih menggunakan senjata tradisional, sedangkan wilayah barat seperti eropa telah menguunakan senjata yang lebih maju lagi.
Melihat faktor-faktor yang menyebabkan kehancuran turki tersebut, hal ini berawal dari orang-orang Arab yang menghadapi orang-orang utsmaniyah, mereka berada dalam dilema yaitu mereka di sisi lain ingin menghormati turki sebagai cerminan persatuan kaum muslimin, di sisi lain mereka mempunyai landasan berfikir ingin memerdekakan diri dari kerajaan turki tersebut.[16]
F.            ANALISIS
Dalam kurun waktu enam abad berkuasa, kerajaan Turki Usmani telah diakui oleh sejarah sebagai kerajaan Islam terbesar dan terlama dibanding dengan kerajaan Islam lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal penting sehingga kerajaan ini mampu bertahan sedemikian lamanya. Ada beberapa dalam sejarah perjalanan Kerajaan Turki diantaranya sebagai berikut :
Sistem sosial masyarakat, salah satu kunci kesuksesan dan keberhasilan Turki Usmani adalah adanya persatuan di antara masyarakatnya yang begitu banyak, (pada tahun 1520 jumlah penduduk kerajaan Turki Usmani adalah 11,692,480 peduduk). Persatuan ini oleh pemerintah diwadahi dalam bentuk organisasi keagamaan bernama Millet.
Millet adalah kelompok agama yang diperbolehkan membangun komunitasnya sendiri di bawah peraturan dan perlindungan kerajaan Turki Usmani. Pluralitas yang diberikan pada rakyatnya mampu memberikan rasa persatuan bagi rakyat dari berbagai wilayah yang ditaklukannya sehingga, semua masyarakatnya bersatu.
Namun pada akhirnya sistem ini runtuh bersamaan dengan munculnya paham nasionalisme yang disebarkan oleh bangsa barat, yang memang bertujuan menyerang dari dalam masyarakatnya. Sehingga setiap wilayah/kerajaan kecil yang ditaklukannya mulai memberontak dari dalam atas semangat nasionalisme mereka, masyarakat kerajaan Turki Usmani pun kemudian terpecah-belah, setelah sebelumnya bersatu, bahkan kerajaan Turki Usmani mendapat julukan “The Sickman Europe” (Orang Eropa yang sakit). Hal ini kemudian ingin dihilangkan dengan memberikan paham Pan-Turkisme, paham untuk menyatukan seluruh masyrakat Turki, namun paham ini tidak bisa diterima rakyat, berlanjut dengan paham Pan-Islamisme oleh Sultan Abdul Hamid II, paham yang menyerukan umat Islam bersatu secara politik, persatuan ini diwujudkan berupa pengakuan sultan Turki Usmani sebagai khalifah umat Islam, gagasan ini berhasil mendapat simpati umat Islam untuk beberapa tahun.
Namun perlawanan barat tidak berhenti sampai di situ, kartu turf terakhir mereka adalah mengusung paham demokrasi yang kemudian mengakhiri kerajaan Turki Usmani dan memunculkan Republik Turki yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk.
Kekuatan militer, berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya, kerajaan Turki Usmani, mulai dari raja pertamanya Usman hingga raja terhebatnya Sulaiman Al Qanuni, lebih memfokuskan pada perkembangan militer. Hal ini dikarenakan Bangsa Turki terkenal sebagai bangsa yang berdarah militer, sehingga semangat militernya sangat kuat, untuk itu sebagian besar APBN kerajaan dipergunakan untuk membiayai prajurit perang dari pada untuk keperluan lain, seperti agama, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Bahkan untuk memperbanyak prajurit, raja kedua turki usmani, Orkhan mengangkat bangsa-bangsa non-Turki sebagai prajurit, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Jenissari atau Inkisyariah.
Pasukan inilah yang dapat mengubah negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukkan negeri-negeri non muslim. Hal ini menjadikan kerajaan ini lebih kuat dibandingkan kerajaan-kerajaan lain, sehingga semakin banyak wilayah yang ditaklukkan maka semakin banyak pula prajurit-prajurit baru yang dapat dilatih untuk dijadikan tentara Islam. Jadilah kerajaan Turki Usmani kerajaan yang hebat dan berwilayah yang luas.
Sistem pemerintahan, saat wilayah semakin luas, tentunya sistem pemerintahan harus hebat juga, dalam mengelola wilayah yang luas sultan-sultan Turki Usmani senantiasa bertindak tegas. Sulaiman Al Qanuni menerapkan sistem pemerintahan pembagian wilayah kekuasaan, sehingga dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri), yang membawahi pasya (gubernur). Gubernur mengepalai Daerah Tingkat I. Di bawahnya terdapat beberapa orang al-zanaziq atau al-’alawiyah (bupati). Hal ini menjadikan kerajaan Turki Usmani pada masa sulaiman Al-Qanuni bisa mengatur wilayah yang sedemikian besarnya.
Ilmu pengetahuan, meskipun kerajaan Turki Usmani hebat dalam hal sistem militer dan sistem pemerintahan, namun mereka tidak terlalu memperhatikan ilmu pengetahuan, yang sebenarnya bisa lebih memperkuat tenaga militer. APBN Negara sebagian besar dipergunakan untuk membiayai pendidikan militer bangsa-bangsa non-turki untuk dijadikan prajurit Islam yang kuat, sehingga hanya sedikit yang dipergunakan untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan kelemahan tersendiri bagi mereka. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan barat yang lebih memfokuskan perhatian pada ilmu pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu pengetahuannya berkembang pesat, yang kemudian memperkuat militer dengan senjata-senjata api baru, yang tidak dimiliki oleh Turki Usmani.
Ketika Bangsa Turki Usmani diserang oleh bangsa barat dengan senjata baru mereka, bangsa Turki Usmani mulai kualahan. Sehingga pasca kehebatan dan wilayahnya yang luas, sedikit demi sedikit kerajaan ini mulai digerogoti, baik dari luar kerajaan maupun dari dalam kerajaan (pemberontak). Munculnya kaum elit, bahwa raja-raja setelah sulaiman Al Qanuni, kurang bisa mengatur pemerintahannya, bahkan ditambah lagi munculnya kaum elit kapitalis di wilayah pemerintahan, sehingga individualitas antar pemimpin dan golongan-golongan elit semakin tumbuh, yang berlanjut dengan penumpukan harta umtuk kepentingan masing-masing, hal ini dimanfaatkan oleh Negara-negara yang telah dikuasainya untuk memerdekakan diri, mereka tidak mau lagi dimanfaatkan tenaganya oleh bangsa turki untuk dijadikan tentara, disamping itu serangan-serangan barat pada wilayah terluar kerajaan juga semakin memperburuk suasana pemerintahan, anggaran dana yang seharusnya dipergunakan untuk memperkuata pertahanan militer Negara sebagian besar dikuasai dan dimonopoli oleh kaum elit kerajaan, hal ini mengakibatkan semangat berperang prajurit melemah karena tidak adanya dana untuk peperangan yang memadai, sehingga perlahan-lahan wilayah kerajaan mulai mengalami penyusutan, hingga pada tahun 1924 kerajaan Turki Usmani berubah menjadi Republik Turki.
G.           PENUTUP
Kerajaan turki utsmani merupakan kerajaan yang dipimpin oleh 40 sultan. Pada abad pertengahan memang masa yang paling bersejarah bagi bangsa arab, bahkan kemunduran bagi bangsa barat, dalam segi pandang kerajaan, kekuasaan wilayah adalah yang terpenting. Turki utsmani yang memimpin selama kurang lebih 6 abad memberikan bukti kejayaannya sampai ke Eropa, akan tetapi dari stagnanisasi bangsa utsmani mereka lebih memajukan kemiliteran mereka dari pada pendidikannya, bagi mereka kemiliterannya adalah satu hal yang terpenting yang harus dimiliki leh seorang pemimin, dengan orientasi penalukan konstantinopel, membuat mereka menjadi bersemangat untuk menjadikan kerajaan turki utsmani menjadi symbol kejayaan islam.
Penyimpangan orientasi mereka ini membuat terlena dengan keluasan wilayah sehingga membuat mereka meninggalkan perkembangan pendidikan mereka. Berbeda dengan bangsa Eropa yang telah mengugguli mereka, kemunduran kerajaan turki utsmani ini terlihat dari bagian bagian wilayah yang dikuasai oleh turki utsmani ini mulai tergerak ingin merubah hidupnya menjadi yang lebih baik dan muncul paham kapitalisme individual sehingga sebagian mereka ingin melepaskan diri. Tampaknya pengaruh barat mulai mendapatkan hasil dengan kelemahan kerajaan turki ini, dan terlahir paham-paham yang ingin membebaskan, sehingga paham turki sendiri tidak dapat menghalangi mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairi Ahmad, Terjemah Tarikhl Al Islamiy “Sejarah Islam”, (Akbar, Jakarta 2008).
Hamka, Sejarah Umat Islam III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
Hasjmy A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995).
Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1976), jilid IV.
Maryam Siti, dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2002).
Mubarok Jaih, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005).
Mughni A. Syafiq, Sejarah Kebudayaan di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 51
M. Lapidus Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), jilid I dan II, terj.
Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Press, 1986).
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988)
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998).



[1] Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal 129
[2] Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1976), jilid IV, h. 324
[3] Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal 130
[4]  Lihat A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 51
[5] Lihat Siti Maryam dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 132
[6] Lihat A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 52
[7] Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. XIII, hal. 130
[8] Hamka, Sejarah Umat Islam III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hal. 59
[9] Lihat Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, hal. 34-35, Lihat juga Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, hal.133
[10] Lihat Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 185
[11] Lihat Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 186
[12] Lihat A. Hasjmy, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) Hal.306-409
[13] Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal 17
[14] Lihat Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, hal.41
[15] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), jilid I dan II, terj, hal. 498
[16] Lihat Ahmad Al Usairi, Terjemah Tarikhl Al Islamiy “Sejarah Islam”, Akbar, Jakarta 2008, hal. 370
www.darunnajah-cipining.com

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas kunjungan teman-teman. silahkan postkan komentar teman semuanya. :-)