A.
PENDAHULUAN
Abad pertengahan di
Eropa sering disebut zaman kemunduran jika dibandingkan dengan zaman klasik
(Yunani-Romawi). Sebaliknya Negara-negara Arab pada abad pertengahan mengalami
kemajuan, namun akhirnya negeri itu sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan
dalam bidang kebudayaan dan kekuasaan.
Abbasiyah adalah satu
diantara banyak khilafah besar yang pernah ada dan memberikan konstribusi besar
terhadap peradaban Islam.
Keruntuhan Abbasiyah
di Baghdad akibat serangan tentara Mongol. Secara politik kekuatannya makin
melemah dan mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tidak
mampu dikendalikan lagi hingga terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan kecil,
yang diantara mereka saling memperebutkan kekuasaan.
Banyak peninggalan
budaya dan peradaban Islam musnah akibat serangan itu. Di sisi lain, keadaan
juga diperparah oleh serangan Timur Lenk yang menghancurkan kekuasaan Islam
lainnya.[1]
Keadaan politik Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali
setelah muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar : Usmani di Turki, Mughal
di India dan Safawi di Persia. Kerajaan Usmani, di samping yang pertama berdiri, juga yang
terbesar dan paling lama bertahan di banding dua kerajaan lainnya, Safawi dan
Mughal.
Sejarah kerajaan
Turki Usmani yang ditulis di dalam buku-buku tarikh Islam di Indonesia sering
tidak mendapat porsi sebanyak yang diperoleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
Melihat dari hasil budaya yang dipersembahkannya dipermukaan, Dinasti Turki
Usmani ini tidaklah bisa disamakan dengan kedua dinasti sebelumnya. Tetapi
melihat peranannya sebagai benteng kekuatan Islam dalam menangkal ekspansi
bangsa Eropa ke timur, maka dengan ini ia tidak bisa ditinggalkan begitu saja
dalam kajian sejarah Islam.
Turki Usmani telah
menunjukkan kehebatannya dalam menangkis serangan musuh. Serangan-serangan
perluasan yang dilakukannya langsung menusuk ke wilayah penting, termasuk
penaklukan Konstantinopel.
B.
MUNCULNYA KERAJAAN
TURKI USMANI
Pendiri dari kerajaan Turki ini adalah bangsa Turki dari kabilah Qayigh
Oghus, salah satu anak suku Turk yang mendiami sebelah barat gurun Gobi,
atau daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina.[2]
Dalam jangka waktu
kira-kira tiga abad, mereka pindah pindah ke Turkistan kemudian Persia dan
Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh, ketika
mereka menetap di Asia Tengah.[3]
Sulaiman sebagai kepala kabilah mengajak anggota sukunya untuk menghindari
serbuan bangsa mongol yang menyerang dunia Islam yang berada di bawah kekuasaan
Dinasti Khawarizm pada tahun 1219-1220.
Dia dan anggota
sukunya lari ke arah Barat dan meminta perlindungan kepada Jalaluddin, pemimpin
terakhir Dinasti Khawarizm di Transoxiana (mâ wara al-Nahr). Jalaluddin
menyuruh Sulaiman agar pergi ke arah Barat (Asia Kecil). Kemudian mereka
menetap di sana dan pindah ke Syam dalam rangka menghindari serangan mongol.
Dalam usahanya pindah
ke Syam itu, pemimpin orang-orang Turki mendapat kecelakaan. Mereka hanyut di
sungai Efrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar pada tahun 1228.[4]
Akhirnya mereka
terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri asalnya dan
yang kedua meneruskan perjalanannya ke Asia kecil. Kelompok kedua berjumlah 400
kepala keluarga yang dipimpin oleh Ertugril (Ertoghrul) ibn Sulaiman.
Mereka mengabdikan
dirinya dirinya kepada Sultan Alauddin II dari Dinasti Saljuk Rum yang pusat
pemerintahannya di Kuniya, Anatolia Asia Kecil. Pada saat itu, Sultan Alauddin
II sedang menghadapi bahaya peperangan dari bangsa Romawi yang mempunyai
kekuasaan di Romawi Timur (Byzantium).
Dengan bantuan dari
bangsa Turki pimpinan Ertoghrul, Sultan Alauddin II dapat mencapai kemenangan.
Atas jasa baik tersebut Sultan menghadiahkan sebidang tanah yang perbatasan
dengan Bizantium. Sejak itu Ertoghrul terus membina wilayah barunya dan
berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut wilayah Byzantium.[5]
Pada tahun 1288 Ertoghrul meninggal dunia, dan meninggalkan putranya yang
bernama Usman, yang diperkirakan lahir pada 1258 M. usman inilah yang ditunjuk
oleh Ertoghrul untuk meneruskan kepemimpinannya dan disetujui serta didukung
oleh Sultan Saljuk pada saat itu.
Nama Usman inilah
yang nanti diambil sebagai nama untuk Kerajaan Turki Usmani. Usman ini pula
yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Usmani. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak
berjasa kepada Sultan Alauddin II. Kemenangan-kemenangan dalam setiap
pertempuran dan peperangan diraih oleh Usman. Dan berkat keberhasilannya maka
benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan Broessa dapat ditaklukkan.
Keberhasilan Usman ini membuat Sultan Alauddin II semakin simpati dan banyak
memberi hak istimewa pada Usman.
Bahkan Usman diangkat
menjadi gubernur dengan gelar Bey, dan namanya selalu disebut dalam do’a setiap
khutbah Jum’at.[6] Penyerangan Bangsa Mongol pada tahun 1300 ke
wilayah kekuasaan Saljuk Rum mengakibatkan terbunuhnya Sultan Saljuk tanpa
meninggalkan putra sebagai pewaris kesultanan. Dalam keadaan kosong itulah,
Usman memerdekakan wilayahnya dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol.
Usman memproklamirkan kemerdekaan wilayahnya dengan nama Kesultanan Usmani yang
bergelar Padisyah Al Usman (raja besar keluarga Usman).
C. PERKEMBANGAN TURKI USMANI
Setelah Usman
mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja besar keluarga
Usman), pada tahun 1300 M. Dia mulai memperluas wilayahnya.[7]
Ekspansi para Sultan Usmani
menjadi model. Hal ini berlangsung paling tidak sampai dengan masa Pemerintahan
Sulaiman I. untuk mendukung hal itu, Orkhan membentuk pasukan tangguh yang
dikenal dengan Inkisyariyyah. Pasukan Inkisyariyah adalah tentara
utama Dinasti Usmani yang terdiri dari bangsa Georgia dan Armenia yang baru
masuk Islam.[8] Ternyata, dengan pasukan tersebut seolah-olah
Dinasti Usmani memiliki mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan
yang besar sekali bagi penaklukan negeri-negeri nonMuslim. Maka pada masa
orkhan I kerajaan Turki Usmani dapat ditaklukkan Azmir (Asia kecil), tahun 1327,
Thawasyani (1330), Uskandar (1338), Ankara (1354), dan Gholipolli (1356).
Daerah-derah ini adalah bagian dunia eropa yang pertama kali dapat dikuasai
kerajaan Usmani.
Perluasan wilayah lebih besar terjadi pada masa Murad I. di masa ini
berhasil ditaklukan wilayah Balkan, Adrianopel (sekarang bernama Edirne,
Turki), Macedonia, Sofia (ibukota Bulgaria) dan seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan
yang diraih oleh Murad I, kerajaan-kerajaan Kristen di Balkan dan Eropa timur
menjadi Murka. Mereka lalu menyusun kekuatan yang terdiri atas Hongaria,
Bulgaria Serbia dan Walacia (Rumania), untuk menggempur Dinasti Usmani.
Meskipun Murad I tewas dalam pertempuran tersebut, kemenangan tetap dipihak
Dinasti Usmani. Ekspansi berkutnya dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I.
Sultan Bayazid naik
tahta tahun 1389 M. dengan mendapat gelar Yaldirin atau Yaldrum
yang berarti kilat, karena terkenal dengan serangan-serangannya yang cepat
terhadap lawan-lawannya. Perluasan wilayah terus berlanjut dan dapat menguasai Salocia
dan Morea. Bayazid juga memperoleh kemenangan dalam perang salib di
Nicapolas (1394).
Ketika Sultan Bayazid
sedang memusatkan perhatiannya untuk menghadapi musuh-musuhnya di Eropa. Ia
ditantang oleh Musuh sesama Muslim yang datang dari Timur Lenk. Seorang raja
keturunan bangsa Mongol yang telah memeluk Islam dan berpusat di Samarkhand.
Timur Lenk mendapat dukungan dari negeri-negeri di Asia Kecil yang tidak mau
tunduk kepada Bayazid. Akhirnya terjadi pertempuran hebat di Ankara
tahun 1402 M. Bayazid dengan kedua putranya, Musa dan Ergthogrol dikalahkan dan
di tawan oleh Timur Lenk tahun 1402. kekalahan ini membawa akibat buruk bagi
Turki Usmani. Penguasa-penguasa di Asia kecil melepaskan diri dari pemerintahan
Usmani. Wilayah Serbia dan Bulgaria memproklamirkan kemerdekaannya.[9]
Puncak ekspansi
terjadi pada masa Sultan Muhammad II yang dikenal dengan gelar al-Fatih
(sang penakluk). Pada masanya dilakukan ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran.
Kota penting yang berhasil ditaklukannya adalah Constantinopel (kota kerajaan
Romawi Timur) yang ditaklukkan pada tahun 1453. setelah ditaklukkan, kota
tersebut diubah namanya menjadi Istambul (tahta Islam). Kejatuhan
Constantinopel ke tangan Dinasti Usmani memudahkan tentara Usmani menaklukkan
wilayah lainnya, seperti Serbia, Albania dan Hongaria.
Sultan Muhammad
meninggal pada tahun 1481 M. digantikan oleh putranya Bayazid II. Berbeda
dengan ayahnya, Sultan Bayazid II lebih mementingkan kehidupan tasawuf dari
pada penaklukkan wilayah dan perang. Hal ini menimbulkan perselisihan yang
panjang sehingga pada akhirnya Sultan Bayazid II mengundurkan diri dari kursi
kesultanan pada tahun 1512 M. Pengganti berikutnya putranya bernama Salim I.
pada masa Sultan Salim I, pemerintahan Usmani bertambah luas hingga menembus
Afrika utara, Syiria dapat ditaklukkan dan Mesir yang diperintah oleh kaum
Mamalik ditundukkan pada tahun 1517 M. Pada masa inilah para Sultan Usmani
menyandang gelar khalifah.[10]
Menurut Ahmad Syalabi, Sultan Salim I pernah meminta kepada khalifah
Abbasiyah di Mesir agar menyerahkan kekhalifahan kepadanya, ketika ia
menaklukkan Dinasti mamalik. Pendapat lain menyebutkan bahwa gelar “khalifah” sebenarnya
sudah digunakan oleh Sultan Murad (1359-1389 M.) setelah ia berhasil
menaklukkan Asia kecil dan Eropa. Dari dua pendapat ini, Ahmad Syalabi
berkesimpulan, para Sultan kerajaan Usmani memang tidak perlu menunggu khalifah
Abbasiyah menyerahkan gelar itu, karena jauh sebelum masa kerajaan Usmani sudah
ada tiga khalifah dalam satu masa.[11]
Pada abad ke 10 M.,
para penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir sudah memakai gelar khalifah. Tidak
lama setelah itu, Abdur Rahman al-Nashir di Spanyol menyatakan diri sebagai
khalifah melanjutkan Dinasti bani Umayyah di Damaskus, bahkan ia mencela para
pendahulunya yang berkuasa di Spanyol yang merasa cukup dengan gelar “Amir”
saja. Karena itu ada kemungkinan para penguasa Usmani memang sudah menggunakan
gelar khalifah jauh sebelum mereka dapat menaklukkan Dinasti mamalik, tempat
pusat pemerintahan para khalifah Abbasiyah.[12]
Dengan adanya
berbagai ekspansi, menyebabkan ibukota Dinasti Usmani berpindah-pindah. Sebagai
contoh, sebelum Usman I memimpin Dinasti Usmani, ia mengambil kota Sogud
sebagai ibukotanya. Kemudian setelah penguasa Dinasti Usmani dapat menaklukkan
Broessa pada tahun 1317, maka pada tahun 1326 Broessa dijadikan ibukota
pemerintahan. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Murad I. ternyata, di
masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu dijadikan sebagai ibukota
pemerintahan. Sampai ditaklukkanya Constantinopel oleh Muhammad II, yang
kemudian diganti namanya menjadi Istambul sebagai ibukota pemerintahan yang
terakhir.
Ada lima faktor yang
menyebabkan kesuksesan Dinasti Usmani dalam perluasan wilayah Islam. (1)
kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita
memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). (2) sifat dan karakter
orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya
yang sederhana, sehingga memudahkan untuk tujuan penyerangan. (3) semangat
jihad dan ingin mengembangkan Islam. (4) letak Istambul yang sangat strategis
sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke
Eropa dan Asia. Istambul terletak antara dua benua dan dua selat (selat
Bosphaoras dan selat Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia,
baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur.
(5) kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti
Usmani mengalahkannya.[13]
D. KEMAJUAN TURKI USMANI
Dari
kemajuan-kemajuan kerajaan Turki Usmani yang telah diukirnya, bidang militerlah
yang lebih menonjol. Hal ini dibuktikan dengan suksesnya perluasan wilayah dari
Benua Asia sampai dengan Benua Eropa.
Tumbangnya dua
kerajaan adidaya di tangan Turki Usmani membuktikan hegemoni kekuatan
militernya. Namun di samping kekuatan militer ada juga kemajuan lain yang
dicapai, diantaranya sebagai berikut :
1. Sosial Politik dan
Administrasi Negara
Kemajuan dan
perkembangan ekspansi kerajaan Usmani berlangsung dengan cepat, hal ini diikuti
pula oleh kemajuan dalam bidang politik, terutama dalam hal mempertahankan
eksistensinya sebagai negara besar. Hal ini berkaitan erat dengan sistem
pemerintahan yang diterapkan para pemimpin Dinasti ini. Selain itu, tradisi
yang berlalu saat itu telah membentuk stratifikasi yang membedakan secara
menyolok antara kelompok penguasa (small group of rulers) dan rakyat
biasa (large mass). Penguasa yang begitu kuat itu bahkan memiliki
keistimewaan: (1) pengakuan dari bawahan untuk loyal pada Sultan dan negara,
(2) penerimaan dan pengamalan, serta sistem berfikir dalam bertindak dalam
agama yang dianut merupakan kerangka yang integral, (3) pengetahuan dan amalan
tentang sistem adat yang rumit. Yang terpenting adalah bahwa para pejabat dalam
hal apapun tetap sebagai budak Sultan. Tugas utama seluruh warga negara, baik
pejabat maupun rakyat biasa adalah mengabdi untuk keunggulan Islam, melaksanakan
hukum serta mempertahankan keutuhan imperium.
Sebagai struktur masyarakatnya sangat heterogen, Dinasti Usmani mempunyai
kekuasaan yang menentukan nasib warga Timur Tengah dan Balkan, sampai pada
tingkat yang luar biasa. Dinasti
Usmani tersebut mendominasi, mengendalikan dan membentuk masyarakat yang
dikuasainya. Salah satu konsep utama yang diterapkan oleh Usmani adalah
perbedan antara askeri dan ri’aya, yakni antara kalangan elit
penguasa dan yang dikuasai, elit pemerintah dan warga Negara, antara tentara
dan pedagang, antar petugas pemungut pajak dan pembayar pajak. Bahkan, untuk
menjadi kelas penguasa seseorang harus dididik dalam kebahasaan dan tata cara
yang khusus yang disebut dengan tata cara Usman. Seseorang dapat menjadi elit
Usmani melalui keturunan atau melalui pendidikan sekolah-sekolah kerajaan,
kemiliteran atau pendidikan sekolah keagamaan.
2. Bidang Militer
kerajaan Turki Usmani
telah mampu menciptakan pasukan militer yang mampu mengubah Negara Turki
menjadi Mesin perang yang paling tangguh dan memberikan dorongan yang amat
besar dalam penaklukan negeri-negeri non Muslim. Bangsa-bangsa non Turki
dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen di asramakan dan dibimbing
dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
Ketika terjadi
kekisruan ditubuh militer, maka Orkhan mengadakan perombakan dan pembaharuan,
yang dimulai dari pemimpin-pemimpin personil militer. Program ini ternyata
berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut dengan pasukan Janissari
atau Inkisyariyah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Negara Usmani
menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan kuat dalam penaklukan
negeri Non Muslim. Selain itu, ada juga ada juga tentara feodal yang dikirim
kepada pemerintah pusat, pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah.[14]
Keberhasilan ekspansi
wilayah dibarengi dengan terciptanya jaringan pemerintah yang teratur. Di masa
Sulaiman I, disusunlah sebuah kitab undang-undang (qonun) yang diberi
nama Multaqa al-Abhur. Kitab ini menjadi pegangan hukum bagi kerajaan
Turki Usmani sampai datangnya reformasi abad ke-19.
Pengelolaan administrasi pemerintah tidaak hanya terbatas sampai ketingkat
propinsi, tetapi selanjutnya diefektifkan dengan membentuk daerah-daerah
tingkat II yang dikepalai masing-masing seorang kepala daerah (sanjaks). Di tingkat pusat, di
samping ada sultan ada grand vizier (perdana menteri) yang dibantu oleh
beberapa pembantu,diantaranya oleh para ulama yang berfungsi sebagai lembaga
pemberi fatwa atau dewan pertimbangan.
Sebuah administrasi
birokratik sangat diperlukan dalam pengkajian militer budak. Orkhan (1324-1360)
melantik seorang wazir untuk menangani administrasi dan kemiliteran pusat dan
mengangkat sejumlah gubernur sipil untuk sejumlah propinsi yang ditaklukkan.
Kepala-kepala jabatan disatukan dalam sebuah dewan kerajaan. Lantaran Dinasti
Usmani semakin meluas, beberapa propinsi yang semula merupakan daerah jajahan
yang harus menyerahkan upeti digabungkan menjadi sebuah sistem administrasi.
Unit propensial yang terbesar, yang dinamakan baylerbayliks, dibagi
menjadi sanjak-bayliks dan selanjutnya dibagi-bagi menjadi timarliks
yang distrik tersebut diserahkan kepada pejabat-pejabat militer sebagai
pengganti gaji mereka. Pada abad ke-16, term vali telah menggantikan baylerbayliks
dengan pengertian seorang gubernur, dan term eyelet digunakan dengan
arti propisi di Eropa, yakni Rumania dan Transilvania, Crimea, dan beberapa
distrik di Anotalia yang berada dalam pengawasan masyarakat Kurdi dan Turki
tetap berlangsung sebagai propinsi semi mereka yang wajib menyerahkan upeti.
3. Bidang Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan
Dalam bidang pendidikan, Dinasti Usmani
mengantarkan pada pengorganisasian sebuah sistem pendidikan madrasah yang
tersebar luas. Madrasah Usmani pertama didirikan di Izmir pada tahun 1331,
ketika itu sejumlah ulama di datangkan dari Iran dan Mesir untuk mengembangkan
pengajaran Muslim dibeberapa teritorial baru.
Tapi hal ini tidak begitu berkembang,
karena Turki Usmani lebih memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran,
sehingga dalam khazanah Intelektual Islam kita tidak menjumpai ilmuan terkemuka
dari Turki Usmani.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, memang
kerajaan Turki Usmani tidak menghasilkan karya-karya dan penelitian-penelitian
ilmiah seperti di masa Daulah Abbasiyah. Kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti
fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadis boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan
yang berarti. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah
(penjelasan), dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap karya-karya klasik
yang telah ada. Namun dalam bidang seni arsitektur, Turki Usmani banyak
meninggalkan karya-karya agung berupa bangunan yang indah, seperti Masjid Jami’
Muhammad al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman dan Masjid Abu Ayyub al-Anshary serta
masjid yang dulu asalnya dari gereja Aya Sophia. Masjid tersebut dihiasi dengan
kaligrafi oleh Musa Azam.
Pada masa Sulaiman di kota-kota besar
lainnya banyak dibangun masjid, sekolah rumah sakit, gedung, makam, jembatan,
saluran air, villa, dan pemandian umum.
4.
Bidang Ekonomi dan Keuangan Negara
Karena Turki mengusai beberapa kota
pelabuhan utama, seperti pelabuhan-pelabuhan sepanjang laut tengah (Afrika
Utara), pelabuhan laut merah, teluk Persia, pelabuhan di Siria (pantai Libanon
sekarang), pantai Asia Kecil dan yang paling strategis adalah pelabuhan
Internasional Konstantinopel yang menjadi penghubung Timur dan Barat waktu itu,
maka Turki menjadi penyelenggara perdagangan, pemungut pajak (cukai) pelabuhan
yang menjadi sumber keuangan yang besar bagi Turki.
Keberhasilan Turki Usmani dalam
memperluas kekuasaan dan penataan politik yang rapi, berimplikasi pada kemajuan
social ekonomi Negara, tercatat beberapa kota industri yang ada pada waktu itu,
antara lain: (a) Mesir yang memperoleh produksi kain sutra dan katun, (b)
Anatoli memproduksi bahan tekstil dan wilayah pertanian yang subur. Kota
Anatoli merupakan kota perdagangan yang penting di rute Timur dalam
perindustrian dalam hasil industri dan pertanian di Istambul, polandia dan
Rusia. Para pedagang dari dalam maupun dari luar negeri berdatangan sehingga
wilayah Turki menjadi pusat perdagangan dunia pada saat itu.[15]
Selain dari sumber perdagangan, Turki
Usmani memiliki sumber keuangan Negara yang sangat besar, yaitu dari harta
rampasan perang, dari upeti tanda penaklukkan negara-negara yang ditundukkan
serta dari orang-orang zhimmi.
E.
KERUNTUHAN TURKI USMANI
Faktor-Faktor Keruntuhan Khilafah
Utsmaniyah (974-1171 H/1566-1757 M) diawali dengan kenaikan Sultan Salim II
(1566-1574) telah dianggap sebagai permulaan keruntuhan Turki Utsmani dan
berakhrnya zaman keemasannya.
Hal ini ditandai dengan melemahnnya
semangat perjuangan prajurit Usmani yang menyebabkan sejumlah kekalahan dalam
pertempuran menghadapi musuh-musuhnya. Pada tahun 1663, tentara Usmani
menderita kekalahan dalam penyerbuan Hungaria. Tahun 1676 Turki kalah dalam
pertempuran di Mohakez, Hungaria dan menandatangani perjanjian karlowits
pada tahun 1699 yang berisi pernyataan seluruh wilayah Hungaria, sebagian besar
Slovenia dan Croasia kepada penguasa Venetia.
Pada tahun 1774, penguasa Usmani, Abdul
Hamid menandatangani perjanjian dengan Rusia yang berisi pengakuan kemerdekaan
Crimenia dan penyerahan benteng-benteng pertahanan di laut hitam serta
memberikan izin kepada rusia untuk melintasi selat antara laut hitam dengan
laut putih.
Apabila dikategorikan, maka
faktor-faktor keruntuhan kerajaan turki usmani adalah:
Faktor internal:
(1) Karena luas wilayah kekuasaan serta
buruknya system pemerintahan, sehingga hilangnya keadilan, banyaknya korupsi
dan meningkatnya kriminalitas. (2) Heterogenitas penduduk dan agama. (3)
Kehidupan istimewa yang bermegahan. (4) Merosotnya perekonomian negara akibat
peperangan yang pada sebagian besar peperangan Turki mengalami kekalahan.
Faktor Eksternal
(1) Munculnya gerakan nasionalisme.
Bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan turki selama berkuasa, mulai menyadari
kelemahan dinasti tersebut. Kemudian ketika turki mulai lemah mereka bangkit
untuk melawannya. (2) Terjadinya kemajuan teknologi di barat khususnya bidang
persenjataan. (Turki selalu mengalami kekalahan karena mereka masih menggunakan
senjata tradisional, sedangkan wilayah barat seperti eropa telah menguunakan
senjata yang lebih maju lagi.
Melihat faktor-faktor yang menyebabkan
kehancuran turki tersebut, hal ini berawal dari orang-orang Arab yang
menghadapi orang-orang utsmaniyah, mereka berada dalam dilema yaitu mereka di
sisi lain ingin menghormati turki sebagai cerminan persatuan kaum muslimin, di
sisi lain mereka mempunyai landasan berfikir ingin memerdekakan diri dari
kerajaan turki tersebut.[16]
F.
ANALISIS
Dalam kurun waktu enam abad berkuasa,
kerajaan Turki Usmani telah diakui oleh sejarah sebagai kerajaan Islam terbesar
dan terlama dibanding dengan kerajaan Islam lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa hal penting sehingga kerajaan ini mampu bertahan sedemikian lamanya.
Ada beberapa dalam sejarah perjalanan Kerajaan Turki diantaranya sebagai
berikut :
Sistem sosial masyarakat, salah satu
kunci kesuksesan dan keberhasilan Turki Usmani adalah adanya persatuan di
antara masyarakatnya yang begitu banyak, (pada tahun 1520 jumlah penduduk
kerajaan Turki Usmani adalah 11,692,480 peduduk). Persatuan ini oleh pemerintah
diwadahi dalam bentuk organisasi keagamaan bernama Millet.
Millet adalah kelompok agama yang
diperbolehkan membangun komunitasnya sendiri di bawah peraturan dan
perlindungan kerajaan Turki Usmani. Pluralitas yang diberikan pada rakyatnya
mampu memberikan rasa persatuan bagi rakyat dari berbagai wilayah yang
ditaklukannya sehingga, semua masyarakatnya bersatu.
Namun pada akhirnya sistem ini runtuh
bersamaan dengan munculnya paham nasionalisme yang disebarkan
oleh bangsa barat, yang memang bertujuan menyerang dari dalam masyarakatnya.
Sehingga setiap wilayah/kerajaan kecil yang ditaklukannya mulai memberontak
dari dalam atas semangat nasionalisme mereka, masyarakat kerajaan Turki Usmani
pun kemudian terpecah-belah, setelah sebelumnya bersatu, bahkan kerajaan Turki
Usmani mendapat julukan “The Sickman Europe” (Orang Eropa yang
sakit). Hal ini kemudian ingin dihilangkan dengan memberikan paham
Pan-Turkisme, paham untuk menyatukan seluruh masyrakat Turki, namun paham ini
tidak bisa diterima rakyat, berlanjut dengan paham Pan-Islamisme oleh Sultan
Abdul Hamid II, paham yang menyerukan umat Islam bersatu secara politik,
persatuan ini diwujudkan berupa pengakuan sultan Turki Usmani sebagai khalifah
umat Islam, gagasan ini berhasil mendapat simpati umat Islam untuk beberapa
tahun.
Namun perlawanan barat tidak berhenti
sampai di situ, kartu turf terakhir mereka adalah mengusung paham demokrasi
yang kemudian mengakhiri kerajaan Turki Usmani dan memunculkan Republik Turki
yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk.
Kekuatan militer, berbeda dengan
kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya, kerajaan Turki Usmani, mulai dari raja
pertamanya Usman hingga raja terhebatnya Sulaiman Al Qanuni, lebih
memfokuskan pada perkembangan militer. Hal ini dikarenakan Bangsa Turki
terkenal sebagai bangsa yang berdarah militer, sehingga semangat militernya
sangat kuat, untuk itu sebagian besar APBN kerajaan dipergunakan untuk
membiayai prajurit perang dari pada untuk keperluan lain, seperti agama, ilmu
pengetahuan dan lain-lain. Bahkan untuk memperbanyak prajurit, raja kedua turki
usmani, Orkhan mengangkat bangsa-bangsa non-Turki sebagai prajurit, bahkan
anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana
Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan
terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Jenissari atau
Inkisyariah.
Pasukan inilah yang dapat mengubah negara
Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan dorongan yang amat
besar dalam penaklukkan negeri-negeri non muslim. Hal ini menjadikan kerajaan
ini lebih kuat dibandingkan kerajaan-kerajaan lain, sehingga semakin banyak
wilayah yang ditaklukkan maka semakin banyak pula prajurit-prajurit baru yang
dapat dilatih untuk dijadikan tentara Islam. Jadilah kerajaan Turki Usmani
kerajaan yang hebat dan berwilayah yang luas.
Sistem pemerintahan, saat wilayah
semakin luas, tentunya sistem pemerintahan harus hebat juga, dalam mengelola
wilayah yang luas sultan-sultan Turki Usmani senantiasa bertindak tegas.
Sulaiman Al Qanuni menerapkan sistem pemerintahan pembagian wilayah kekuasaan,
sehingga dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi,
dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri), yang membawahi pasya
(gubernur). Gubernur mengepalai Daerah Tingkat I. Di bawahnya terdapat beberapa
orang al-zanaziq atau al-’alawiyah (bupati). Hal ini menjadikan kerajaan Turki
Usmani pada masa sulaiman Al-Qanuni bisa mengatur wilayah yang sedemikian
besarnya.
Ilmu pengetahuan, meskipun kerajaan
Turki Usmani hebat dalam hal sistem militer dan sistem pemerintahan, namun
mereka tidak terlalu memperhatikan ilmu pengetahuan, yang sebenarnya bisa lebih
memperkuat tenaga militer. APBN Negara sebagian besar dipergunakan untuk
membiayai pendidikan militer bangsa-bangsa non-turki untuk dijadikan prajurit
Islam yang kuat, sehingga hanya sedikit yang dipergunakan untuk perkembangan
ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan kelemahan tersendiri bagi mereka. Berbeda
dengan kerajaan-kerajaan barat yang lebih memfokuskan perhatian pada ilmu
pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu pengetahuannya berkembang pesat, yang
kemudian memperkuat militer dengan senjata-senjata api baru, yang tidak
dimiliki oleh Turki Usmani.
Ketika Bangsa Turki Usmani diserang
oleh bangsa barat dengan senjata baru mereka, bangsa Turki Usmani mulai
kualahan. Sehingga pasca kehebatan dan wilayahnya yang luas, sedikit demi
sedikit kerajaan ini mulai digerogoti, baik dari luar kerajaan maupun dari
dalam kerajaan (pemberontak). Munculnya kaum elit, bahwa raja-raja setelah
sulaiman Al Qanuni, kurang bisa mengatur pemerintahannya, bahkan ditambah lagi
munculnya kaum elit kapitalis di wilayah pemerintahan, sehingga individualitas
antar pemimpin dan golongan-golongan elit semakin tumbuh, yang berlanjut dengan
penumpukan harta umtuk kepentingan masing-masing, hal ini dimanfaatkan oleh
Negara-negara yang telah dikuasainya untuk memerdekakan diri, mereka tidak mau
lagi dimanfaatkan tenaganya oleh bangsa turki untuk dijadikan tentara,
disamping itu serangan-serangan barat pada wilayah terluar kerajaan juga
semakin memperburuk suasana pemerintahan, anggaran dana yang seharusnya
dipergunakan untuk memperkuata pertahanan militer Negara sebagian besar
dikuasai dan dimonopoli oleh kaum elit kerajaan, hal ini mengakibatkan semangat
berperang prajurit melemah karena tidak adanya dana untuk peperangan yang
memadai, sehingga perlahan-lahan wilayah kerajaan mulai mengalami penyusutan,
hingga pada tahun 1924 kerajaan Turki Usmani berubah menjadi Republik Turki.
G.
PENUTUP
Kerajaan turki utsmani merupakan
kerajaan yang dipimpin oleh 40 sultan. Pada abad pertengahan memang masa yang
paling bersejarah bagi bangsa arab, bahkan kemunduran bagi bangsa barat, dalam
segi pandang kerajaan, kekuasaan wilayah adalah yang terpenting. Turki utsmani
yang memimpin selama kurang lebih 6 abad memberikan bukti kejayaannya sampai ke
Eropa, akan tetapi dari stagnanisasi bangsa utsmani mereka lebih memajukan
kemiliteran mereka dari pada pendidikannya, bagi mereka kemiliterannya adalah
satu hal yang terpenting yang harus dimiliki leh seorang pemimin, dengan
orientasi penalukan konstantinopel, membuat mereka menjadi bersemangat untuk
menjadikan kerajaan turki utsmani menjadi symbol kejayaan islam.
Penyimpangan orientasi mereka ini
membuat terlena dengan keluasan wilayah sehingga membuat mereka meninggalkan
perkembangan pendidikan mereka. Berbeda dengan bangsa Eropa yang telah
mengugguli mereka, kemunduran kerajaan turki utsmani ini terlihat dari bagian
bagian wilayah yang dikuasai oleh turki utsmani ini mulai tergerak ingin
merubah hidupnya menjadi yang lebih baik dan muncul paham kapitalisme
individual sehingga sebagian mereka ingin melepaskan diri. Tampaknya pengaruh
barat mulai mendapatkan hasil dengan kelemahan kerajaan turki ini, dan terlahir
paham-paham yang ingin membebaskan, sehingga paham turki sendiri tidak dapat
menghalangi mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairi Ahmad, Terjemah Tarikhl
Al Islamiy “Sejarah Islam”, (Akbar, Jakarta 2008).
Hamka, Sejarah Umat Islam III,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
Hasjmy A., Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995).
Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami,
(Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1976), jilid IV.
Maryam Siti, dkk. (ed.) Sejarah
Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI,
2002).
Mubarok Jaih, Sejarah Peradaban
Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005).
Mughni A. Syafiq, Sejarah
Kebudayaan di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 51
M. Lapidus Ira, Sejarah Sosial
Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), jilid I dan II,
terj.
Nasution Harun, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Press, 1986).
Nasution, Harun. Pembaharuan
Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996)
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan
Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia,
1988)
Yatim Badri, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998).
[1] Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal 129
[2] Lihat Hasan Ibrahim
Hasan, Tarikh al-Islami, (Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah,
1976), jilid IV, h. 324
[3] Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal 130
[4] Lihat A.
Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, (Jakarta: Logos,
1997), hal. 51
[5] Lihat Siti Maryam
dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,
(Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 132
[6] Lihat A. Syafiq
Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), hal.
52
[7] Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), cet. XIII, hal.
130
[8] Hamka, Sejarah
Umat Islam III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hal. 59
[9] Lihat Ahmad Syalabi,
Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, hal. 34-35, Lihat juga Badri
Yatim, Sejarah peradaban Islam, hal.133
[10] Lihat Jaih Mubarok, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 185
[11] Lihat Jaih Mubarok, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 186
[12] Lihat A. Hasjmy, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) Hal.306-409
[13] Lihat Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Press,
1986), hal 17
[14] Lihat Ahmad Syalabi,
Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, hal.41
[15] Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), jilid I dan
II, terj, hal. 498
[16] Lihat Ahmad Al
Usairi, Terjemah Tarikhl Al Islamiy “Sejarah Islam”, Akbar,
Jakarta 2008, hal. 370
www.darunnajah-cipining.com
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungan teman-teman. silahkan postkan komentar teman semuanya. :-)