A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan perkara yang senantiasa menyibukkan para pemikir dan peneliti. Walau berbeda pendapat dalam mendefinisikan dan tujuan, akan tetapi mereka bersepaham tentang urgensi pendidikan terhadap masyarakat, yaitu sebagai prasarat hidup layak serta mencapai kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat.
Terlebih pada masa kini, yang mendorong antarindividu saling bersaing dari berbagai lini dan aspek kehidupan.
Berbeda dengan kehidupan masa lalu. Kebutuhan manusia masih sederhana, sedikit, dan tidak kompleks. Bandingkan dengan sekarang, yang kian hari kian bertambah kebutuhannya, seiring dengan perkembangan peradaban dan meningkatnya kebutuhan manusia.
Sekurang-kurangnya tujuan pendidikan secara umum ada tiga, yaitu sebagai alat mencari mâ’isah, kedua dilandasi kepentingan ilmu pengetahuan dan ketiga pembentukkan akhlak.
Sementara dalam Islam tujuan terpenting pendidikan adalah membentuk akhlak yang mulia, dengan tanpa mengkesampingkan tujuan-tujuan lainnya.Sebagaimana Allah firmankan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Menurut penuturan Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., dalam al-Qur’an terdapat 2.500 kali diucapkan kata-kata iman bersanding dengan akhlak mulia.
Hal ini menegaskan bahwa konsep pendidikan Islam menitikberatkan kepada akhlak mulia sebagai manifestasi dari keimanan.
Pada makalah ini, akan sedikit menguraikan salah satu tokoh yang dianggap reformis di kalangan Islam, beliau adalah Muhammad Abduh yang pernah hidup antara 1849 s.d. 1905.
Yang menarik bagian awal pendidikan Abduh sepenuhnya berada pada garis tradisional, dengan methode hafalan. Tetapi, sejak awal ia telah menunjukkan sikap kritis terhadap metode tersebut yang dinilainya tidak mengembangkan pengertian dan kreativitas. Pendidikan tradisionalnya dilengkapi dengan belajar di Univesitas Al-Azhar; tamat pada tahun 1877, kemudian mengajar di sana.
Di sinilah ladang Muhammad Abduh berjuang merubah sistem pendidikan tradisional menjadi modernis.B. RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M./ 1265 H. di sebuah Desa Propinsi Gharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah. Abduh lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallaj Nashr.
Ayahnya bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat. Ibunya keturunan Arab, silsilahnya sampai kepada Umar ibn Khathab. Kakek Muhammad Abduh diketahui turut menentang pemerintahan Muhammad Ali. Kenyataan itu dituduhkan pula kepada Abduh Hasan Khairullah, ayah Muhammad Abduh. Karena tuduhan itu ayahnya sempat dipenjara untuk beberapa lama, sebelum ia menetap di al-Gharibiah dan mengikat tali perkawinan dengan ibu Muhammad Abduh.
Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru pada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah membaca, menulis, dan menghafal Al-Quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun. Ia telah menghafal seluruh ayat Al-qur’an. Kemudian, pada usia 14 tahun ia dikirim ayah ke Tanta untuk belajar di mesjid al-Ahmadi fikih.
Di tempat ini ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak puas, bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu. Ia tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan yang mementingkan hafalan tanpa pengertian bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallat nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun.
Keputusan Muhammad Abduh untuk meninggalkan dunia pendidikan tidak disetujui oleh orangtuanya. Maka dengan terpaksa ia kembali ke Thanta. Namun, dalam di tengah perjalanannya ia merubah arah tujuannya. Ia bukannya ke Thanta, melainkan ke sebuah desa yang bernama Kanisah Urin, di sana tinggal pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr, seorang alim yang banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu agama, dan sangat perhatian dengan bidang tafsir al-Qur’an.
Darwisy Khadr berhasil memotivasi Muhammad Abduh kembali membaca buku. Ia berusaha membantu Muhammad Abduh memahami apa-apa yang dibacanya.
Atas bantuan pamannya, ia akhirnya mengerti apa yang dibaca. Sejak saat itulah minat membaca mulai tumbuh dan berusaha membaca buku-buku secara mendiri. Istilah-istilah yang tidak dipahaminya ia tanyakan kepada Darwisy Khadr. Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa sebab utama ia meninggalkan pelajaran pada waktu sebelumnya adalah karena rendahnya minat untuk belajar.
Setelah mengalami banyak perubahan dan kemajuan, ia meninggalkan Thanta dan menuju Kairo pada tahun 1866.
Akan tetapi kondisi al-Azhar pada saat itu, terbelakang dan jumud. Karena segala sesuatu yang berlawanan dengan kebiasaan al-Azhar adalah perbuatan kafir, seperti membaca buku geografi, filsafat, dan jenis-jenis buku umum hukumnya haram, bahkan memakai sepatu merupakan bid’ah. Kemudian ia juga menemukan metode yang sama dengan Thanta, yang membuat Muhammad Abduh kembali kecewa.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari ilmu filsafat, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang intelektual bernama Hasan Tawil. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan Tawil pun kurang memuaskan diriya. Pelajaran yang diterimanya di al-Azhar juga kurang menarik perhatiannya. Ia lebih suka membaca buku di perpustakaan al-Azhar. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik, filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin al-Afghani.
Pada tahun 1877 ia menempuh ujian untuk mencapai gelar al-Alim. Ia lulus dengan predikat baik. Setelah lulus ia mengajar di al-Azhar, di Dar al-Ulum dan rumahnya sendiri.
Ketika pada 1296 H/1879 M, Jamaluddin Al-Afghani dideportasi dari Mesir, Muhammad Abduh dipecat dari jabatannya sebagai guru. Abduh pun memutuskan untuk kembali ke desanya. Hingga akhirnya Riyadh Pasha mengeluarkan surat yang berisi tentang kebersihan Muhammad Abduh.
Setelah itu Muhammad Abduh menjadi pemimpin redaksi surat kabar Al-Waqai Al-Mishriyyah. Di dalam surat kabar itulah Muhammad Abduh menyebarkan pemikiran-pemikirannya.
Muhammad Abduh, atas pengaruh gurunya Jamaluddin Al-Afghani juga terlibat dalam kegiatan politik praktis. Ia pernah terlibat dalam peristiwa “Urabi tahun 1881”. Peristiwa itu mengakibatkan ia tertangkap pada tahun 1882 ia dibuang ke Syiria. Di masa pengasingan itu, Afghani mengundang Abduh untuk datang ke Paris dan di sinilah Afghani dan Abduh menyusun gerakan al-Urwat al-Wutsqa, yakni gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Tujuan gerakan ini adalah untuk membangkitkan semangat perjuangan seluruh umat Islam dalam menentang ekspansi Eropa ke dunia Islam.
Karena dianggap berbahaya, majalah ini hanya sampai 18 nomor penerbitan saja dan untuk berikutnya majalah ini dilarang terbit oleh Pemerintah Prancis.
Setelah majalah al-‘Urwah al-Wutsqa tidak terbit lagi, Muhammad Abduh mulai bosan dengan gerakan politik. Dia pun mulai memiliki keinginan untuk melakukan perubahan melalui pendidikan dan pembaruan pemikiran umat Islam. Abduh pun meninggalkan Al-Afghani dan kembali ke Beirut sebagai guru Madrasah Sulthaniyyah. Dia pun menjadi penafsir Al-Qur’an di Masjid Umari, penulis, dan editor (muhaqqiq), dan buku-buku Turats.
Di sinilah titik awal perubahan Muhammad Abduh, ia memilih memusatkan perhatiannya pada pembaharuan melalui pemikiran dan pendidikan, sedangkan gurunya Jamaluddin al-Afghani tetap fokus pada pembaharuan melalui pergerakan politik.
Selanjutnya pada tahun 1885 ia pergi ke Beirut dan mengajar di sana. Akhirnya atas bantuan temannya, pada tahun 1988 ia diizinkan pulang ke Kairo. Di sana ia kemudian diangkat sebagai hakim, pada tahun 1894 menjadi anggota Majelis al ‘Ala al-Azhar dan telah banyak memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaharuan di Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Selanjutnya pada tahun 1899 ia diangkat sebagai Mufti Mesir hingga akhir hayatnya pada tahun 1905 dalam usia kurang lebih 56 tahun.
C. DASAR DAN CORAK PEMIKIRAN PENDIDIKANNYA
Dengan latar belakang pendidikan, pengalaman serta motivasinya yang kuat untuk memajukan dunia Islam, Muhammad Abduh tidak hanya memiliki pemikiran pendidikan yang bercorak modern, melainkan juga memiliki pemikiran dalam bidang politik, kebangsaan, sosial kemasyarakatan, teologi dan filsafat.
Selain itu, corak pemikiran pendidikan Muhammad Abduh juga berdasar pada teologi rasional, filsafat dan sejarah. Dengan dasar dan corak pemikirannya yang demikian itu, maka Muhammad Abduh dapat mengemukakan gagasan dan pemikirannya dengan cara yang segar dan sesuai dengan perkembangan zaman pada waktu itu.
Abduh memiliki ide-ide yang berbeda dengan gurunya Jamaludin Al-Afgani. Al-Afgani menghendaki pembaharuan umat Islam melalui pembaharuan negara, sedangkan Abduh berpendapat bahwa pembaharuan negara dapat dicapai melalui pembaharuan umat. Abduh tidak menghendaki jalan revolusi tapi melalui jalan evolusi. Oleh karena itu ia tidak menghendaki sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat memperbaiki umat dari dalam.
D. PEMIKIRAN PENDIDIKAN
Kesadaran akan kemunduran umat Islam, serta komitmen yang tinggi terhadap pentingnya pembaharuan internal adalah pondasi pemikiran Abduh. Baginya, kemunduran umat Islam disebabkan, terutama, oleh kejumudan dalam berfikir.
Paham kejumudan ini mematikan kegiatan berpikir, mengekang kreativitas, dan menganjurkan kepatuhan mutlak pada penafsiran tradisional (taqlid). Di samping itu ia juga menyerang berbagai kepercayaan dan praktik keagamaan yang menyimpang dari Islam sesungguhnya, seperti kepasifan dan fatalisme.
Masalah ini hanya mungkin diselesaikan dengan penafsiran kembali Islam serta penerapannya melalui pendidikan dan reformasi sosial keagamaan.
Masalah serius lainnya yang dihadapi umat adalah orientasi dalam menghadapi zaman modern, yang telah memecah mereka menjadi dua kelompok: kelompok tradisional dan kelompok modernis. Kelompok pertama sangat kuat berpegang pada tradisi dan pemahaman lama tentang Islam yang jumlahnya terus mengecil. Kelompok kedua mengagungkan rasionalisme dan pertimbangan rasional-material, kelompok ini sedang berkembang pesat.
Perpecahan ini terefleksi dan sekaligus diperparah oleh dualisme dalam pendidikan umat Islam. Sistem pendidikan tradisional memfokuskan diri semata-mata pada ilmu-ilmu agama dan dengan cara yang tidak memungkinkan alumninya siap menghadapi perubahan zaman yang cepat. Di sisi lain, pendidikan modern sedemikian sekuler sehingga gagal menanamkan nilai-nilai relegius yang positif dalam diri genarsi muda. Yang dilihat Abduh adalah sebuah disorientasi sosial dan proses sekularisasi di tengah masyarakat yang tidak sepenuhnya sekular.
Latar belakang lahirnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh disebabkan oleh faktor situasi sosial keagaman dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu. Karena Muhammad Abduh beranggapan bahwa kejumudan pemikiran telah merasuki berbagai bidang kehidupan seperti bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat.
Menurutnya salah satu penyebab hal ini terjadi adalah karena paham dari akidah jabariah. Ajarannya jabariyah memiliki kecenderungan untuk bersikap sikap pasif dan kepercayaan kepada kasih sayang Tuhan, sehingga terjadinya penyimpangan dan mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan.
Dan faktor lain adalah sistem pendidikan yang ada pada saat itu merupakan sistem yang dibangun oleh Muhammad Ali pada abad ke 19 sebagai pembaharu awal pendidikan di Mesir. Ia menilai bahwa pembaharuan itu tidak seimbang, karena hanya menekankan perkembangan aspek intelek. Akibatnya sistem ini mewariskan dua tipe pendidikan yaitu: Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir, maupun yang didirikan oleh bangsa asing.
Kedua tipe sekolah tersebut tidak mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya, masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya.
Ilmu-ilmu Barat tidak dibenarkan di sekolah-sekolah agama. Dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejaar dengan perkembangan aspek jiwa yang lain. Dari itulah agaknya pemikiran yang statis tetap mendominasi corak pemikiran guru dan murid pada saat itu, bukan hanya dalam tingkat awal dan menengah, tetapi juga dalam kalangan al-Azhar sendiri.
Selain terjadinya kasus-kasus yang demikian, dualisme pendidikan yang demikian melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elite generasi muda, hasil pendidikan yang mulai pada abad ke sembilanbelas.
Dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh mereka dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat. Muhammad Abduh melihat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran yang demikian. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak dapat dipertahankan lagi. Usaha-usaha untuk mepertahankan pemikiran yang demikian hanya akan menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan pemikiran kedua ia melihat bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari itulah Muhammad Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut, sehingga jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit.
Latar belakang inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang pemikiran pendidikan formal dan nonformal, dengan bertujuan untuk menghapus dualisme pendidikan.Dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh mengarahkan pemikirannya kepada empat hal, yaitu tujuan, kurikulum, metode pengajaran, dan pemberian pendidikan terhadap wanita.
Muhammad Abduh merumuskan tujuan pendidikan, yaitu : “ Tujuan pendidikan ialah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat.”
Dari rumusan tujuan pendidikan yang demikian dapat dipahami, bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan tujuan yang demikian pula ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan Muhammad Abduh yang demikian jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan saat itu yang hanya mementingkan salah satu aspek dan mengabaikan aspek yang lainnya.
Beberapa gagasan dan pemikiran beliau secara singkat dituliskan oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata dalam bukunya ”Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat” sebagai berikut :
1. Menghilangkan Dikotomi Pendidikan
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pada waktu itu pendidikan agama terpisahkan dengan pengetahuan umum. Keduanya berjalan terpisah.
Untuk mengatasi dikotomi yang demikian, Muhammad Abduh mengusulkan agar dilakukan lintas disiplin ilmu antarkurikulum madrasah dan sekolah, sehingga jurang pemisah antara kaum ulama dan ilmuwan modern akan hilang. Gagasannya ia terapkan di Universitas al-Azhar, yaitu dengan melakukan penataan kembali struktur pendidikan, yang kemudian dilanjutkan pada sejumlah lembaga pendidikan yang berada di Thanta, Dassus, Dimyat, Iskandariyah, dan lainnya.
Said Ismail Ali dalam bukunya Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, menambahkan : Bagaimana metode pengajaran yag dominan digunakan di al-Azhar saat itu tidak menjelaskan dan membentangkan persoalan sebagaimana mestinya. Kerancuan dan keambiguan selalu menyertai materi pelajaran yang disampaikan. Anak-anak didik tidak menemukan jalan lain di hadapannya kecuali menghafal tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kesabaran.
Akhirnya, terjadi keterputusan antara pengetahuan dan perilaku. Di sini Abduh merasakan akan urgensitas metode pengajaran. Berangkat dari sini, Abduh menekankan metode pengajaran kepada para tenaga guru pendidik di al-Azhar. Yang seharusnya lebih diperhatikan adalah “Bagaimana cara kita mengetahui ? “ dan bukan “ Apa yang akan kita ketahui ? “.
Pasalnya, melatih anak didik tentang cara memperoleh ilmu pengetahuan bisa menuntun mereka pada perangkat utama dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Jadi ketika mereka merasa memerlukan satu pengetahuan tertentu maka mereka bisa mencari dan memperolehnya sendiri.
2. Pengembangan Kelembagaan Pendidikan
Dalam upaya mengembangkan kelembagaan pendidikan, Muhammad Abduh mendirikan sekolah menengah pemerintahan untuk menghasilkan tenaga ahli dalam berbagai bidang yang dibutuhkan, yaitu bidang administrasi, militer, kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Melalui berbagai lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh memasukkan pendidikan agama, sejarah dan kebudayaan Islam.
Selain itu, pada madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan al-Azhar; Muhammad Abduh memasukkan pelajaran manthiq, falsafah, dan tauhid. Sebelum itu, Al-Azhar menganggap pelajaran falsafah dan mantik adalah pelajaran yang haram diajarkan dan dipelajari. Sedangkan di rumahnya, ia mengajarkan buku Tahdzib al-Akhlak karya Ibnu Miskawaih, dan buku sejarah peradaban Eropa yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, dengan judul at-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun al-Mamalik al-Arabiah.
3. Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan masalah yang sangat perlu diperhatikan karena tanpa kurikulum yang sesuai dengan apa yang diharapkan, maka semua itu tidak akan terwujud dengan baik. Demikian pula kenyataan yang dialami Muhammad Abduh di dalam mendapatkan pendidikan pada madrasah-madrasah di Mesir, artinya kurikulum di Mesir terjadi pada dualisme atau perbedaan yang sangat mendasar antara kurikulum di madrasah dengan kurikulum di sekolah yang didirikan pemerintah.
Metode mengajar para gurupun menjadi perhatiannya, karena pada waktu ia belajar, ia merasa bosan dengan metode hafalan melulu pada sekolah agama, sehingga ia tidak tinggal diam dan mencoba merobah metode hafalan tersebut dengan metode diskusi.
a. Pengembangan Kurikulum Sekolah Dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dimulai dari usia dini, yakni masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, mata pelajaran agama dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. kepribadian muslim, manusia, khususnya rakyat Mesir pada waktu itu, akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat membangkitkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
b. Pengembangan Kurikulum Sekolah Menengah dan Kejuruan
Pengembangan kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan dilakukan dengan memasukkan mata pelajaran Manthiq, dan falsafah yang sebelumnya tidak boleh diajarkan. Selain itu, memasukkan pula pelajaran tentang sejarah dan peradaban Islam dengan tujuan agar umat Islam mengetahui berbagai kemajuan dan keunggulan yang pernah dicapai dunia Islam di masa silam, sebagai pemicu bagi lahirnya kebanggaan terhadap Islam serta semangat untuk membangun kembali kejayaan umat Islam.
c. Pengembangan Kurikulum Univeritas Al-Azhar
Kurikulum perguruan tinggi di Al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Dalam hal ini, Abduh memasukkan mata kuliah ilmu filsafat, ilmu logika, dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum Al-Azhar. Hal ini dilakukannya agar output Al-Azhar dapat menjadi ulama modern, yang sesuai dengan zaman dan kondisi mereka hidup. Di Al-Azhar, dalam melakukan perubahan ini, Muhammad Abduh merasa sendirian, tidak ada orang yang sudi membatunya untuk menerapkan perubahan ini. Namun bagi Abduh, ia hanya berusaha, soal diterima atau tidak itu urusan lain. Ia pernah berucap, ”Aku sudah memberikan bibit yang baik untuk Al-Azhar, kalau ia tumbuh, berbuah, dan dapat dinikmati oleh akal dan spirit, maka Al-Azhar akan kekal dengan corak yang baru. Tetapi, kalau tidak demikian, maka Al-Azhar hanya bisa menunggu keputusan akhir dari Allah SWT.
4. Pengembangan Metode Pengajaran
Dalam bidang metode pengajaran ia pun membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengeritik degan tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang umumnya dipraktikkan di sekolah-sekolah saat itu. Terutama sekolah-sekolah agama. Ia tidak menjelaskan dalam tulisan-tulisannya metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi apa yang dipraktikkannya ketika ia mengajar di al-Azhar tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid.Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dari metode hafalan dengan metode rational dan pemahaman. Siswa di samping menghafal sesuatu juga harus memahami tentang materi yang dihafalnya. Ia juga mnghidupkan kembali metode munazharah (diskusi) dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid buta terhadap para ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa al-Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya merupakan ilmu yang tidak berkembang menjadi ilmu yang berkembang yang dapat diperg unakan untuk menterjemahkan teks-teks pengetahuan modern kedalam bahasa Arab.
Di samping itu Muhammad Abduh juga membuat sebuah metode yang sistematis dalam menafsirkan al-Qur’an dengan berpedoman pada lima prisnip sebagai berikut. Pertama, menyesuaikan peristiwa-peristiwa yang ada pada masanya dengan nash-nash al-Qur’an; Kedua, mennjadikan al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan; Ketiga, menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat; Keempat, menyederhanakan bahasa dalam penafsiran; Kelima, tidak mengabaikan berbagai peristiwa sejarah yang menyertai turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
5. Pendidikan Wanita
Menurutnya wanita haruslah mendapat pendidikan yang sama dengan lelaki. Mereka, lelaki dan wanita, mendapat hak yang sama dari Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 228, yaitu : “ … Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf…”
Dan Firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang artinya : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar “.
Dalam pandangan Muhammad Abduh ayat-ayat tersebut mensejajarkan lelaki dan wanita dalam hal memndapatkan keampunan dan pahala yang diberikan Allah atas perbuatan yang sama, baik dalam hal yag bersifat keduniaan, maupun dalam hal agama. Dari sini ia bertolak bahwa wanita berrhak mendapatkan pendidikan seperti hak yang didapatkan lelaki. “wanita” katanya, “harus dilepaskan dari rantai kebodohan “, dan yang demikian hanya mungkin dengan memberi mereka pendidikan.
E. ANALISIS
Muhammad Abduh terlahir di keluarga yang concern terhadap pendidikan, walaupun orang tuanya tidak bergelimang harta, hanya seorang petani.
Ia tumbuh dan berkembang dihadapkan dengan pola pendidikan yang tidak sejalan dengan alam pemikirannya. Mesir pada waktu itu dipimpin oleh seorang yang mengedepankan pendidikan barat, agar mampu bersaing dengan negara lain dari segi kemajuan dan mengkesampingkan pendidikan agama. Pola ini menghasilkan teknokrat, intelek yang gersang terhadap nilai-nilai agama.
Di sisi lain, terdapat kelompok yang enggan untuk berkembang, bertahan terhadap pendidikan dan pengajaran pendahulunya tanpa mau terjadinya perubahan. Hal ini melahirkan kelompok fundamental, tidak mau menerima perubahan, apapun itu bentuknya.
Masa pembelajaran beliau Abduh juga menggunakan methode yang membosankan ”Kal Babgho” seperti Beo yang tidak mengerti makud dari yang dihafal.
Al Azhar haram hukumnya mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan dan berseberangan dengan ide-ide tokoh Azhar. Karena memang pada masa Al-Ayubi Azhar dibekukan hapir satu abad lamanya. Ini juga berimbas terhadap pendidikannya yang mengharamkan mempelajari filsafat, mantiq, fisika dan pengetahuan umum lainnya.
Beliau juga pernah berpolitik praktis dengan gurunya Al-Afghani, mengakibatkan diasingkan dari negara satu ke negara lainnya, sampai diasingkan ke Paris Perancis. Hingga pada akhirnya beliau berpendapat, bahwa merubah ummat tidak harus merubah negara atau revolusi, tetapi melalui jalur evolusi.
Abduh mulai meletakkan sendi-sendi ide pendidikannya pada masa ia terpilih menjadi Anggota Majlis al A’la Al-Azhar pada tahun 1894.
Beliau merubah pembelajaran Al-Azhar dan sekitarnya yang bisa kita lihat dan rasakan sampai saat ini sudah bervariasi, bahkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadopsi pembelajarannya dengan membuka Fakultas Dirosah Islamiyah.
Efek pembaharuan Abduh pada lini pendidikan juga menginspirasi Founding Father kita seperti Moch. Hatta, Mas Mansur, Nasir, Mahmud Yunus, Mukti Ali, Munawir Sadzali dan masih banyak lagi untuk mendirikan lembaga Islam di Indonesia yang bisa bersaing dan berbicara di pentas dunia, sebagai contoh muncul Azzumardi Azra, Dien Syamsudin.
Konsep pendidikan Abduh mampu menghilangkan dikotomi pendidikan dan kejumudan pada masyarakar Mesir pada waktu itu.
Ide beliau adalah melahirkan ulama’ yang intelek. Pengertiannya adalah kemampuan mengakomodir berbagai pendekatan-pendekatan normatif dapat terelaborasi turun ke bumi, tidak hanya mengawang-awang di langit. Mampu mengaktualisasikan makna teologis deduktif.
Di samping pendidikan, Abduh juga menafsirkan al-Qur’an. Dalam tafsier al-Manar, al-qur’an ditafsierkan berdasar analisis sosiologis dan historis.
Sebagai contoh, dalam teks al-qur’an dijelaskan bahwa pencuri harus dipotong tangannya. Muhammad Abduh memandang, bahwa orang yang mempunyai kekuasaan tidaklah cukup dipotong tangannya, melainkan haruslah ditutup akses kekuatan dan kekuasaannya agar tidak bisa lagi mencuri.Pemikiran beliau sejalan apa yang diterapkan oleh Umar bin Khottob Al-Faruq yang tidak memotong tangan pencuri pada waktu itu, karena konteksnya banyak terjadi kelaparan, musim paceklik yang mendera masyarakat.
Mengenai harkat dan martabat wanita, Abduh menilai bahwa ia memiliki peranan dan hak sama terhadap pendidikan. Pada masa Rasulullah s.a.w. Wanita dikedepankan ke ranah publik, sehingga terkenallah wanita-wanita berprestasi, tangguh dan menjadi panutan ummat. Namun pada masa Umayah, pemberlakuan kepada kaum hawa kembali ke masa Jahiliyah, hukum Romawi dan peran mereka dibatasi.
Maka menurut penulis, Abduh merupakan sosok pembaharu (mujaddid) yang bisa dirasakan ide-ide pemikirannya sampai sekarang ini.
F. PENUTUP
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan beberapa catatan sebagai berikut :
Pertama, Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu, yang terlahir dari sejarah panjang perjalanan pendidikan yang ia peroleh dan membentuk kepribadian tersendiri, sehingga ia bukan hanya mampu merasakan kekurangan pendidikan, akan tetapi melakukan usaha penuh untuk melakukan pembaharuan.
Kedua, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran Muhammad Abduh. Yaitu, Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya terutama Syekh Darwisy dan Sayyid Jamaludin al-Afghani, disamping itu lingkungan sekolah di Thanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif, serta dengan keagamaan yang statis dan fikiran-fikiran yang fatalistic. Faktor kebudayaan, berupa ilmu yang diperolehnya selama belajar disekolah-sekolah formal dari Jamaludin al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari barat. Faktor politik yang bersumber dari situasi politik dimasanya, sejak dilingkungan keluarganya di Mahallaj Nashr.
Ketiga, Gagasan dan pemikiran Muhammad Abduh diantaranya adalah mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern dengan harapan menjadi ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama. Pembaharuan dan pengembangan kelembagaan pendidikan, pengembangan kurikulum dan metode pengajaran.
Keempat, dalam memasukkan gagasannya Muhammad Abduh menerapkan kurikulum pendidikan sesuai dengan jenjangnya, dari tingkat dasar sampai kepada perguruan tinggi. Pada tingkat dasar diberikan bekal atau dasar yang kuat tentang agama, meningkat kepada tingkat atas meningkat memasukkan ilmu-ilmu logika atau penalaran, selanjutnya pada jenjang perguruan tinggi mereka diberikan kebebasan mengeksplorasi daya pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta, Rajawali Pers, 2012).
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993).
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung, Mizan Media Utama, 2010).
Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008).
Mahmud Yunus, Tarbiyah wa Ta’lim, Juz Pertama, (Ponorogo, Darussalam Press, 2005).
Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta, Quantum teaching, 2005).
Said Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2010).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2003).
A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta, Rajawali Pers, 2012).
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993).
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung, Mizan Media Utama, 2010).
Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008).
Mahmud Yunus, Tarbiyah wa Ta’lim, Juz Pertama, (Ponorogo, Darussalam Press, 2005).
Ramayulis & Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta, Quantum teaching, 2005).
Said Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2010).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2003).
www.darunnajah-cipining.com
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kunjungan teman-teman. silahkan postkan komentar teman semuanya. :-)